2. Terpaksa Bohong

3.7K 194 5
                                    

"Ayo masuk, mau saya tinggal di sini? Jangan cari perhatian di depan saya, saya nggak mempan kamu gituin."

Septi tidak habis fikir dengan ucapan boss-nya satu ini. Siapa yang cari perhatian disini? Jelas- jelas yang cari perhatian Angkasa sendiri. Buat apa dia bilang, kalau Septi adalah pacarnya. Dan tanpa aba- aba sedikitpun, dengan seenaknya main mencium pipinya tanpa izin sedikitpun.

"Bapak ngerasa nggak punya salah sedikitpun? Kenapa jadi saya yang cari perhatian. Bapak sudah ngebohongin orang- orang disana, dan juga ngebohongin saya, apa itu perbuatan yang benar?"

"Benar. Saya salah dimananya?"

"Dengan berbohong dan bilang saya pacar Bapak, terus main mencium pipi orang sembarangan tanpa izin, apa itu sikap yang benar?"

"Kalau berbohong untuk kebaikan, itu diperbolehkan, kan? Lagi pula, kalau saya izin tadi ke kamu, kamu nggak akan izinin, dan malah kelihatan bohongnya, lagian itu cuma nempel doang di pipi, nggak ada yang lebih."

Tidak habis fikir, jika ternyata Septi harus memiliki atasan yang sebegitu brengseknya seperti Angkasa. Ini baru hari pertama kerja, dia sudah seberengsek itu, bagaimana nasib hari- hari selanjutnya.

"Brengsek sekali anda jadi pria." Septi langsung meninggalkan Angkasa di parkiran, langkahnya menuju ke arah luar, dan lebih baik ia mencari kendaraan umum saja, ketimbang harus kembali ke kantor bersama Angkasa.

Septi mengernyit, ketika tiba- tiba tangannya di cekal oleh seseorang. "Maaf Pak, tidak jadi naik, ini untuk uang penggantinya ya."

"Apa- apaan sih Pak! Saya jadi kehilangan taksi kan!" Septi berusaha melepaskan cekalan tangannya.

"Pulang sama saya!"

"Nggak mau." Septi mengalihkan wajahnya dari tatapan Angkasa.

"Jangan seperti anak kecil SEPTI ... kamu berangkat sama saya tadi, sudah sewajarnya kamu pulang sama saya."

"Saya bisa kembali ke kantor sendiri."

Kesabaran Angkasa telah habis. Ia menarik tangan Septi agar Septi mengikuti langkahnya menuju ke mobilnya kembali.

Namun ketika mendekati mobil Angkasa, nasib baik tidak berpihak padanya.

"Kalian belum pulang? Mama kira sudah pulang tadi." Sapa Miranda ketika melihat keberadaan anaknya. "Kita belum kenalan resmi tadi ya, Angkasa buru- buru bawa kamu tadi, tahu masih disini kita makan siang bareng kan."

Septi menyalami tangan Miranda, mengecup punggung tangannya. Septi terkaget ketika Miranda mengecup pipi kanan dan kirinya. "Siapa tadi nama kamu? Mama nggak dengar jelas tadi, gara- gara anak bandel ini ngenalin kamu cepat- cepat."

"Septi, Tante."

"Kok Tante sih, Mama dong, kamu kan pacarnya anak Mama, jadi manggilnya harus Mama." Miranda merangkul tangan Septi. "Tunggu sebentar ya, nanti Mama kenalin ke Papa. Kita kaget banget lho kalau Angkasa sudah punya pacar, tahu gitu kan, nggak usah capai- capai ngenalin sama anak temannya Papa, ya nggak Sep? Anak ini susah banget di ajak diskusinya. Sukanya bikin kejutan terus."

Mata Septi memberikan isyarat meminta pertolongan ke Angkasa. Dirinya benar- benar tidak nyaman ketika di rangkul erat oleh Miranda. Bukannya tidak suka, namun karena kebohongan yang sedang ia ikuti alurnya, ia menjadi merasa tidak enak sudah membohongi kedua orang tua Angkasa.

Angkasa sendiri nampak tidak perduli dengan sandiwara yang sedang berjalan ini. Dari ekspresi wajahnya sudah menunjukan kemenangannya sendiri. Tidak ada sama sekali niatnya untuk membantu Septi, terlepas dari kebohongan ini.

"Nah itu dia Papa datang." Dengan wajah penuh berseri-seri, Miranda langsung mengenalkan Septi kepada Awan, suaminya. "Pa cepet sini, kenalin calon mantu."

Septi sudah tidak tahu lagi harus menunjukan ekspresi seperti apa, ketika dirinya di sebut dengan kata 'calon mantu' oleh Miranda.

"Awan, Papanya, anak bandel ini." Awan menunjukan jari telunjuknya ke arah Angkasa.

"Septi, Om." Septi juga mencium punggung tangan Awan ketika berkenalan dengan papa Angkasa.

"Wah becanda ini calon mantu mu Ma. Masa panggil Papa, Om."

"Maklumi saja Pa, masih malu- malu ini Pa, panggilnya Papa dong, masa manggil ke Mama, sudah Mama, ke Papa malah Om, bertabrakan banget. Dari sekarang diingat baik- baik ya, ke Mama itu, Mama, ke Papa itu, Papa, mudah kan?"

"I- i.. iya Ma."

"Nah begitu. Mama sama Papa langsung ya, Papa mau ada meeting lagi. Angka, besok bawa calon mantu Mama kerumah ya, pulang kerja langsung aja, kalau sekarang, Mama harus nemenin Papa meeting sampai malam, kasihan kalau kemalaman."

"Siap Ma, besok Angkasa bawa ke rumah. Sekarang boleh Angkasa minta, Septinya." Angkasa mengulurkan tangannya, meminta tangan Septi di serahkan kembali kepadanya.

"Iya- iya ini Mama balikin, takut banget sih kamu, nggak akan Mama culik juga. Duuh, Mama senang banget deh kalau begini, punya calon mantu cantik begini, jadi ingin buru- buru Mama lamar."

"Sudah- sudah, ini Mamanya malah ngaco sekali, nggak lihat apa itu, muka mantunya sudah tertekan gitu."

"Masa iya, nggak kok Pa, mukanya happy gitu, ayo senyum sayang, tunjukin ke Papa, kalau Papa itu salah."

Dengan sangat terpaksa, Septi menunjukan senyum lima jarinya, kehadapan orang tua Irwan.

"Yasudah ya, kita pergi duluan, jangan lupa besok ya, janji ya sayang." Miranda lagi- lagi mengecup kedua pipi Septi.

"Ii ... insyaallah ya mmMa."

Setelah kedua orang tua Angkasa sudah meninggalkan tempat, dengan sigap, Septi langsung menjauh dari Angkasa. Namun pergerakannya untuk meninggalkan Angkasa sudah sangat terbaca oleh Angkasa. Tangan Septi langsung segera di tahan kembali.

Dengan menggemgamnya sangat kuat, Angkasa langsung menarik Septi dan langsung memaksanya untuk menaiki mobil. Angkasa sendiri langsung memutari mobil dan menepati bangku kemudi. Mengunci pintu, untuk mewaspadai Septi agar tidak kabur dari mobil.

Selama mobil melaju, Septi enggan mengeluarkan kata- kata sedikitpun. Ingin protes juga rasanya sangat malas. Ia sudah sangat paham apa hasilnya, jika ia protes mengenai masalah tadi, yang ada emosinya makin meninggi.

Daripada capai sendiri, lebih baik ia berdiam diri. Wajahnya juga sudah ia alihkan. Dengan menatap kaca sebelahnya, itu jauh lebih baik daripada ia menatap ke depan. Karena mata kanannya, secara otomatis masih bisa menatap pergerakan Angkasa.

Hingga suara yang keluar menginterupsi keadaan dirinya.

"Mari besok, kita bersandiwara kembali, lebih mesra lagi, untuk meyakinkan kedua orang tua saya. Kalau nantinya mereka berdua sudah sangat percaya, baru deh secara perlahan mungkin saya bisa lepasin kamu, dan kehidupan kamu bisa normal kembali. Untuk hari ini saya berterima kasih sekali sama kamu, karena kamu, Papa tidak jadi mengenalkan anak temannya ke saya. Dan satu lagi ... bukan berarti kamu tadi berhasil menolong saya, terus pekerjaan kamu di kantor selesai begitu saja ya, pekerjaan kamu yang tadi saya kasih, masih menunggu untuk kamu kerjakan, setelah itu kita lembur seperti yang tadi saya bilang."

Kalimat panjang yang Angkasa ciptakan, tidak ada yang bisa Septi potong. Septi tidak sanggup berkata- kata, bahkan untuk mencela kalimat tersebut ia tidak berdaya. Terlalu rumit baginya, untuk memasuki jalan pikiran Angkasa.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang