32. Tiket Hangus

1.5K 86 1
                                    

Seharusnya saat ini Septi sudah berada di Jogja untuk membantu segala persiapan lamaran Nadia. Namun sayangnya sampai detik ini dirinya masih berada di Jakarta. Dan lebih tepatnya berada di dalam apartemen Angkasa.

Septi sudah melakukan berbagai cara agar Angkasa mengizinkannya mengambil cuti dan pulang ke Jogja bersama Nadia. Namun tidak ada satupun caranya yang berhasil. Bahkan ia sudah melakukan aksi menghindarkan dirinya dari Angkasa a.k.a ngambek, namun tetap tidak berhasil.

Mengancam Angkasa pun tidak berhasil. Justru malah sebaliknya. Ia yang terkena ancaman dari Angkasa.

"Temen- temen kamu enaknya di apain ya, kalau kamu tiba- tiba main kabur gitu aja ke Jogja? Mungkin nggak sih kamu langsung balik dari Jogja ke Jakarta, kalau salah satu dari mereka, menelfon kamu dan meminta bantuan kamu? Seru juga, bisa di coba. Kamu se-setia kawan seperti apa? apakah seperti yang mereka selalu bicarakan tentang kamu nggak, ya?" Itu kata yang Angkasa ucapkan, ketika niatnya yang akan kabur begitu saja dari Angkasa, namun dapat di baca jelas oleh Anglasa.

"Sial."

Septi menatap lirih ke arah Angkasa yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Keluar dengan membuka pintu kamar mandi secara perlahan, sambil bersiul penuh kemenangan.

Angkasa baru saja selesai mandi. Dan sepertinya ia sengaja mandi dengan waktu yang cukup lama tidak seperti biasanya, seakan ia ingin mengetes kesetiaan yang ada pada diri Septi.

"Oh... kamu masih di sini?" Angkasa melirikan matanya pada jam dinding, melihat pukul berpaa saat ini. "Pesawat kamu—udah waktunya take-off, bukan sih?" Angkasa berbicara seraya meledek Septi yang mentapnya tajam.

Septi menggeram menatap Angkasa.

Soal ia akan kabur, sebenarnya bukan hanya wacana. Namun sudah hampir ia lakukan. Yang pertama- tama ia lakukan adalah memesan tiket pesawat. Sayangnya, entah bagaimana pelaporan tentang ia membei tiket pesawat, masuk ke dalam email Angkasa.

Padahal sebelumnya, ia sudah meyakinkan tidak adanya kegagalan sedikit apapun itu. Karena keteledorannya, ia lupa mengganti akun pemesanan tiketnya menjadi akun miliknya. Tanpa sadar, ia memakai akun milik Angkasa untuk membeli tiket tersebut.

"Kamu kan sayangan, apalagi segala sesuatu yang di belinya pakai uang. Nggak sayang udah beli tiket tapi jadi kebuang gitu aja?" Tanya Angkasa meledek. Sepertinya ia lupa, jika yang terpasang adalah akun miliknya. Jadi, Septi membelik tiket pesawat itu menggunakan uangnya.

Suara tertawa kecil keluar dari bibir Septi.

"Yah sayangnya sih kamu lupa juga." Septi menatap Angkasa yang keheranan karena ucapannya. "Kalau aku beli tiket pesawat itu pakai akun kamu, jadi aku nggak merasa rugi sama sekali. Harusnya kamu yang merasa sayang. Sayang karena tiket itu jadi terbuang sia- sia."

Angkasa terdiam sebentar. Nampak berfikir. "Kalau tiket itu terbuang begitu aja, cuma karena kamu gagal berangkat? Aku rasa—aku nggak ngerasain rugi apa- apa." Angkasa balik menatap Septi. "Aku lebih rugi kalau tiket itu jadi kamu pakai. Aku nggak bisa bayangin, uang ku sia- sia terpakai untuk nganter kamu ke Jogja. Buat ku itu lebih sia- sia." Ucapnya tegas.

"Kamu mubazir namanya." Septi meninggalkan Angkasa yang sedang berjalan ke arahnya begitu saja.

Angkasa menatap kepergian Septi dengan terkekeh. Terkekeh melihat aksi Septi yang kembali ngambek kepada dirnya.

***

Angkasa menghampiri Septi yang sedang berdiri di balkon. Dari pendengarannya Septi sedang berbicara dari sambungan teleponnya.

Sambil menunggu Septi selesai menelfon, Angkasa memilih untuk duduk di bangku yang berada di pojokan sisi balkon.

Dari percakapan yang keluar dari bibir Septi, ada kata 'Ibu' yang keluar dari bibirnya, Angkasa dapat mendengarnya. Dan ia ingin memastikannya lagi, jika itu adalah Ibu Septi yang sedang berbicara di balik sana.

Angkasa berdiri dari duduknya, menghampiri sisi kanan Septi, menempelkan telinganya ke ponsel Septi. Mendengar percakapan Ibu dan anak tersebut, tanpa menghiraukan Septi yang sudah risih bercampur kesal karena kehadirannya.

Tanpa izin terlebih dahulu, Angkasa main mengambil ponsel milik Septi begitu saja, setelah mendengar Ibu Septi yang menanyakan, kenapa Septi yang tidak datang bersama Nadia?

"Septi datangnya sama saya Bu, cuma belum bisa datang sekarang. Karena saya ikut rombongannya Irwan, jadi Septi ikut saya Bu."

Mengenai hubungannya dengan Angkasa, Septi sudah menceritakannya kepada Ibunya. Ia akan datang bersama Angkasa, dan Angkasa akan datang mengunjungi orang tuanya. Tidak mungkin ia main datang begitu saja dengan membawa Angkasa tanpa menjelaskannya terlebih dahulu.

Yang ada orang tuanya akan bertanya- tanya dan merasa tidak di hargai.

"Iya Bu, Septi akan saya jaga. Maaf ya Bu jadinya Septi nggak bisa datang ke Jogja duluan. Habis kayak aneh ya Bu, kalau kita datangnya pisah." Seakan Angkasa mengadu pada Ibu kandungnya sendiri.

"Iya Bu, siap. Pasti!" Itulah kata terakhir yang Septi dengar dari bibir Angkasa, setelah Angkasa memutuskan sambungan teleponnya.

Angkasa sudah Septi kenali kepada orang tuanya, melalui sambungan video call. Makanya tidak heran jika Angkasa bisa seluwes dan begitu akrab saat berbicara kepada Ibunya.

Ibu Septi juga beberapa kali menghubungi Angkasa secara langsung ketika mencari Septi yang tidak kunjung mengangkat telfonnya.

Perkenalan Angkasa dengan Ibunya bisa di hitung baru beberapa hari saja. Namun dengan akrabnya Angkasa berhasil mengambil hati Ibunya, dengan hampir setiap hari menanyakan kabar orang tua Septi di belakangnya.

Septi mengetahuinya secara tidak sengaja, setelah beberapa hari lalu mendengar percakapan antara Angkasa dengan Ibunya melalui sambungan telfon.

Dan Ibunya tidak pernah absen memberikan kabar kepada dirinya setiap Angkasa menghubunginya. "Anaknya baik Ibu suka. Pacar- pacar kamu dulu nggak ada yang pernah kayak gini deh kayaknya, padahal udah lama kenal Ibu." Itulah kata- kata yang selalu ia dengar dari Ibunya setelah Angkasa menghubungi Ibunya.

"Kamu tuh—!" Septi merampas ponselnya begitu saja dari genggaman Angkasa. Memutar balik tubuhnya, untuk meninggalkan Angkasa sendiri di balkon.

Namun tubuhnya tersentak, ketika Angkasa mencekal tangannya. Menahan pergelangan tangannya, untuk menahan tubuhnya.

"Kenapa sih, marah- marah melulu? Kamu lagi PMS ya?" Septi menahan tangan Angkasa yang sudah berada dibawah sana. Mengecek apakah Septi menggunakan pembalut apa tidak. "Tapi bukan tanggalan kamu kan?" Walaupun tertahan, ia berhasil menyentuhnya, dan tidak menemukan pembalut yang terpasang. "Benar, kan? Kamu lagi nggak PMS, tapi marah- marah mulu. Mungkin sebentar lagi PMS ya?" Uajrnya sok tahu."

"Kalau ngecek harusnya cuma sebentar, nggak kayak gini?!" Septi menggeliat kegelian karena, tangan Angkasa yang tidak kunjung melepasnya.

Angkasa terkekeh mendengar ucapan Septi. "Nggak apa- apa, tanggung sekalian." Ujarnya yang malah asik memasukan tangannya kedalam celana piyama Septi.

"Kalau kamu nggak lepasin juga, aku beneran marah. Aku beneran nekat pergi ke Jogja tanpa izin kamu, dan aku nggak peduli sama sekali sama ancaman kamu. Dan aku, nggak akan balik lagi ke Jakarta—"

Angkasa membungkam bibir Septi dengan bibirnya, sedikit melumatnya. Ia tidak ingin mendengar ucapan Septi yang semakin melantur. "Udah. Udah aku lepas." Ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang