12. Gosip

2.2K 145 0
                                    

Septi sudah tiba dikantor pagi- pagi sekali. Setelah melakukan absen pagi bersama Nadia, Septi langsung menuju keruangannya. Masih sepi, lampu yang sudah menyala juga masih beberapa.

Pagi ini sengaja ia ikut Nadia yang selalu datang di pagi- pagi buta. Menurut Nadia berangkat pagi- pagi buta, lebih baik daripada berangkat pas waktu. Banyak manfaatnya, bisa menghirup udara yang tidak banyak polusinya, dingin udaranya juga sangat sejuk, dan yang terpenting tidak macet.

Jadi ketika sampai dikantor suasana masih dalam keadaan fresh, pikiran pun masih jernih. Itulah yang diucapkan Nadia, ketika ia mengajak Septi untuk berangkat pagi buta.

Dan benar saja, ketika sampai keruangannya, Septi merasakan hawa yang positif. Berbeda dari biasanya. Biasanya baru datang saja ia sudah emosi, karena melihat Angkasa yang sudah tiba duluan, dan ketika melihat Septi baru sampai, dia akan ceramah pagi- pagi.

Septi melihat rekan kerjanya, Sari yang baru saja tiba di kubikelnya. Sari menatap Septi dengan senyum- senyum, entah karena apa. Mungkin karena ia datang pagi- pagi. Segitu anehnya kah, kalau ia datang pagi- pagi sekali.

"Mbak, aku kaget lho ... Mbak datang jam segini." Sari memutarkan kepalanya. "Lihat Mbak, cuma baru kita berdua, biasanya aku datang paling pertama, dan belum ada siapa- siapa, eh— sekarang malah ada Mbak, aku fikir tadi Mbak itu—".

"Setan? Kamu pikir Mbak itu setan ... iya?"

"Haha." Kekeh Sari. "Lagi Mbak aneh- aneh aja." Sari menyentuh dahi Septi dengan punggung tangannya. "Nggak panas deh, normal kayak aku."

"Ya- iya, kamu fikir aku sakit?"

"Siapa tahu Mbak keserang sakit apa. Biasanya Mbak tuh kalau datang, nunggu Pak Angkasa marah- marah dulu. Baru deh nggak lama Mbak datang."

Septi menarik nafas lalu menghembuskannya. "Yaudah yuk, biar nggak aneh, kita cari makan dulu, terus baliknya nunggu Pak Angkasa marah- marah cari aku, jadi nggak aneh kan?" Septi langsung menarik tangan Sari, membawanya ke lift.

Ngomong soal Angkasa, Septi dan Angkasa belum lagi berkomunikasi setelah kejadian di apartemen Angkasa kemarin. Mereka belum saling berbicara. Setelah tidur dikasur yang sama, pagi- paginya Septi langsung pulang, tanpa membangunkan Angkasa.

Septi belum membuka pesan Angkasa, cuma terakhir notif yang ia lihat isinya 'sekarang kita pacaran beneran, tidak ada bantahan atau apapun dan peraturan apa yang ada selama kita pacaran, itu akan kita bicarakan dikantor, seharusnya setelah bangun tidur, kita membahas hubungan kita, tapi kamu main kabur aja.' Dan sampai sekarang pesan itu belum juga ia buka dan ia balas.

***

"Mbak udah dengar gosip- gosip belum?" Tanya sari.

"Gosip apa?"

"Masa lalunya Pak Angkasa."

Septi menggelengkan kepala.

"Mbak harus tahu, Mbak kan seketarisnya ya, jadi aku bakalan ceritain ke Mbak, biar Mbak nggak kudet."

Septi mengernyit.

"Harus banget aku tahu?"

"Harus Mbak!"

Septi menghembuskan nafasnya.

"Jadi—"

"Jadi apa? Malah bengong lagi." Septi melambaikan tangannya di depan wajah Sari.

"Ii- ituu Mbak."

"Apaan?" Tanya Septi penasaran. Hingga suara bariton seseorang yang sudah sangat Septi hafal.

Septi melihat kekursi sebelah kanannya dan benar saja sudah terisi oleh Angkasa.

"Pagi Pak." Sari menganggukan kepalanya sambil memberikan salam.

"Lagi ngomongin apa pagi- pagi? Kayaknya seru." Angkasa menatap Sari dan Septi bergantian.

"E- eehe, nggak Pak, bukan apa- apa kok." Sari menjawabnya takut- takut.

"Kenapa pada diam jadinya, lanjutin aja." Ujar Angkasa.

"Gimana mau bicara, kalau yang jadi topiknya Bapak." Sahut Septi. Septi melihat ekspresi Sari yang panas dingin, menelan makanan pun terlihat sangat susah.

"Oh ya? Tentang apa?" Angkasa menjawabnya penasaran. Angkasa juga menyuapkan sendok yang sudah terisi nasi kemulutnya, dengan menggerakn tangan Septi.

"Kamu juga." Angkasa menelankan kunyahannya. "Aku telfonin nggak diangkat. Padahal ponsel kamu disini." Angkasa mengangkat ponsel Septi. "Di silent ternyata, kebiasaan."

Tingkah Angkasa yang tidak biasa pun, membuat Sari yang melihatnya kebingungan. Angkasa tidak pernah seramah ini pada bawahannya. Namun bersama Septi, kali ini Angkasa terlihat begitu ramah.

***

"Maksudny apa sih Pak? Sengaja banget bikin orang lain bertanya- tanya!" Septi mengungkapkan kekesalannya. Bagaimana tidak, ponselnya tidak berhenti- henti di teror oleh Sari.

Setelah sarapan pagi tadi, hanya Sari yang kembali keruangannya. Sedangkan Angkasa dan Septi, harus menghadiri rapat dadakan diluar kantor.

"Lihat!" Septi menunjukan layar ponselnya yang terus dibanjiri pesan masuk dari Sari.

"Yaa ... balas aja sejujurnya." Tangan Angkasa mengacak rambut Septi. "Bilang kalau kita memang pacaran. Selesaikan?"

Septi menyingkirkan tangan Angkasa dengan kasar dari kepalanya.

"Semudah itu Bapak bilang? Bapak nggak menghadapi mereka, tapi saya yang bakalan di teror mereka. Apalagi Sari ... sumber segala sumber kegosipan." Ucapnya pasrah.

"Bagus dong, jadi kita nggak usah susah- susah untuk kasih informasi ke semua orang, biar mereka tahu sendiri."

"Yah nggak gitu dong Pak! Bisa habis saya jadi—" ucapan Septi terhenti karena sebuah kecupan yang mendarat dibibirnya "bulan- bulanan." Septi melanjutkan omongannya, setelah kecupan itu terlepas.

Angkasa memanfaatkan lampu lalu lintas yang berhenti di warna merah. Terlalu gemas dengan Septi yang tidak merubahkan panggilannya, padahal lagi diluar kantor, untuk peringatannya ia memberikan kecupan pada bibir Septi.

"Kayaknya oke juga, setiap di luar kantor, atau lagi nggak ada orang dan kamu masih pakai kata 'Bapak dan saya', akan ada hukumannya."

Angkasa yang melihat Septi masih melamun, mendekatkan bibirnya dengan telinga Septi. "Kecupan di bibir, sebagai hukumannya."

Karena reflek, Septi menolehkan wajahnya ke arah Angaksa. Dan sesuatu yang tak terduga kembali. Jarak Septi dan Angkasa yang begitu dekat tanpa jarak, akhirnya secara tidak sengaja bibir mereka menempel. Jika bukan karena bunyi klakson dari kendaraan lain, yang mengharuskan mobil mereka jalan, karena sudah lampu hijau, mungkin Angkasa akan melanjutkan kecupan itu menjadi sebuah lumatan.

Angkasa sudah siap menahan tengkuk Septi, namun harus batal karena lampu lalu lintas sudah menunjukan warna hijau.

***

Jangan lupa vote nya ya, 'klik' bintangnya ☆

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang