8. Bingkai Foto

2.3K 174 4
                                    

Kedatangan Septi di sambut hangat oleh Miranda. Berulang kali Miranda mengatakan kata 'senang' karena kedatangannya. Kata senang itu bukan hanya kata- kata yang keluar dari bibirny saja, namun dari perlakuannya juga sangat terlihat jelas. Sedari tadi, Septi tidak pernah lepas dari rangkulan Miranda.

Miranda mengajaknya berkeliling di dalam rumahnya. Dari halaman depan sampai ke halaman belakang, tidak ada ruang yang terlewatkan sama sekali. Dan titik itu berhenti di dalam kamar Angkasa.

Miranda mengatakan kalau kamar ini sudah jarang sekali diisi oleh penghuninya. Apalagi setelah Angkasa memilih menetap di Singapura beberapa tahun silam. Setelah kembali ke Indonesia pun sama saja, Angkasa hanya sesekali datang kesini dan terkadang hanya mengunjunginya tanpa menginapn

"Kamar ini udah jarang banget di tempati, yang punya kamar sibuk banget, sampai susah pulang ke sini."

Septi hanya mengangguk mendengarkan ucapan Miranda.

"Padahal Mama udah minta Angkasa untuk sering- sering menginap disini, tapi yah gitu, merasa tidak cocok sama Papa, jadinya Angkasa malas untuk nginap disini." Miranda menarik tangan Septi, lalu mengenggamnya. "Kalau bisa, kamu bujuk ya ... biasanya Angkasa paling nurut sama pacarnya, siapa tahu kalau kamu yang bicariin dia akan nurut." Ucap Miranda penuh harap.

Nadia mengernyit, menjawab dengan terbata- bata. "I- iiy- ya Ma, aku usahain ya."

Bagaimana mau nurut, untuk menyuruh Angkasa saja Septi tidak berani, ditambah lagi hubungan mereka hanya sandiwara. Sandiwara yang hanya di setujui oleh Angkasa seorang. Dari awal Septi hanya dijebak untuk mengikuti permainan Angkasa.

Selama berada di kamar Angkasa, hanya ada Septi dan Miranda saja. Selama mereka berkeliling, sampai sekarang sudah berada dikamar Angkasa, Angkasa tidak bersama dengan mereka. Angkasa sedang sibuk dengan telfonnya yang tidak berhenti- henti. Akhirnya Miranda memutuskan untuk meninggalkan Angkasa dengan kesibukannya.

Septi berkeliling untuk melihat ruangan kamar Angkasa. Kamar ini di desain sepertinya sesuai dengan karakter Angkasa, tegas, pemimpin dan- semaunya, serta yang paling terpenting setiap barangnya tersusun rapih. Walaupun jarang ditempati sepertinya kamar ini masih sangat terurus, tidak ada debu sedikitpun.

Langkah kakinya terhenti pada bingkai foto yang menggantung di dindingnya. Foto Angkasa, sepertinya bersama dengan wanita yang sama dengan foto yang ada di ruangan kerja Angkasa. Septi menatapnya dengan saksama.

Hingga suara Miranda menyadarkannya. "Angkasa paling nggak suka kamarnya di masukin orang lain, yang boleh bersihin kamarnya aja cuma Bu Laksmi, Mama aja cuma boleh masuk kalau dia kasih izin, tapi karean ada kamu seharusnya, nggak apa- pa ya ..."

Septi terbelengah mendengar ucapan Miranda.

"Mama tinggal dulu ya, Papa nelfon." Ujar Miranda, meninggalkan Septi seorang diri dikamar Angkasa.

Merasa hidupnya akan terancam, dengan terburu- buru Septi berjalan ke arah pintu, tanpa melihat sekelilingnya. Langkahnya terhenti, karena sebuah cekalan dilengan tangannya.

Tubuhnya terhimpit dengan dinding serta Angkasa. Tertahan diantara keduanya. Hingga terdengar suara pintu tertutup dan terkunci. Posisinya bersebelahan persis dengan pintu yang sudah terkunci. Pandangannya menatap pintu tersebut, lalu dengan takut- takut mengalihkan pandangannya dari tatapan Angkasa.

"Ssa- ssaya, cuma ngikutin yang Tante Miranda mau. Saya juga udah nolak untuk nggak masuk kesini. Tapi Tante Miranda tetap maksa." Gumam Septi.

"Lalu, dimana Mama sekarang?"

Angkasa memaksa wajah Septi untuk menatapnya dengan mendengakan dahu Septi dengan jari telunjuknya.

"Keluar, dapat telfon dari-"

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang