33. Marah

1.6K 83 0
                                    

"Kenangan kamu di Jogja banyak?" Angkasa menanyakan pertanyaan yang tiba- tiba saja, ketika pesawat yang mereka naiki baru saja landing di Bandar Udara Internasional Yogyakarta.

Pertanyaan yang di ucapkan oleh Angkasa membuatnya penuh pertanyaan. Dengan mengerutkan dahinya, menatap ke arah Angkasa. "Kamu nanya gitu nggak salah?" Bukannya apa- apa, semasa kecil sampai besar Septi memang tinggal di Jogja.

Namun beberapa tahun terakhir ini ia memang sudah menetap di Jakarta dan belum pulang- pulang lagi ke Jogja. "Hampir separuh hidup ku, aku tinggal di Jogja lho. Kalau kamu nanya kenangan ya pasti banyak lah. Apalagi ada orang tua aku di sini. Aneh- aneh aja kalau nanya."

Angkasa sedikit menggeram, karena menurutnya jawaban yang di ucapkan oleh Septi tidak sesuai dengan keinginannya. Yang Angkasa maksud adalah kenangan bersama pria lain. Yang pastinya pria sebelum dirinya. "Bukan itu maksud aku." Angkasa menarik nafas. Enggan memberitahu maksudnya, namun menginginkan Septi untuk mengetahui maksudnya.

Lagi- lagi Angkasa menggeram, menatap Septi yang tidak kunjung menanggapinya.

"Aku antar kamu sampai lobi hotel ya, setelah itu aku langsung pulang ke rumah, biar aku nggak nyari- nyari taksi lagi." Ujarnya tanpa memperhatikan raut wajah Angkasa yang sudah mengeras. Septi sedang asik menunggu koper mereka keluar dari bagasi kabin pesawat.

"Siapa yang nyuruh kamu langsung pulang?" Suara Angkasa sudah mulai meninggi.

Mendengar suara Angkasa yang seperti menahan kesal, Septi langsung membalikan tubuhnya, menatap ke arah wajah Angkasa. Dan benar saja, wajah itu sudah mengeras menahan kesal. Septi hanya memberikan senyum tipis, membawa tangan Angkasa untuk di rangkulnya.

"Oke. Kita jalan sama- sama ke rumah ku. Dan istirahat dulu di hotel?" Walau masih merenggut, Septi tahu kekesalan Angkasa sudah mulai mengurang.

Angkasa masih tidak bersuara, namun ucapan yang di sampaikan oleh Septi membuat hatinya sedikit senang. Walau masih ada hal- hal lain yang membuatnya kesal.

***

"Kamu kenapa sih dari tadi nggak jelas banget? Kesambet tadi, selama di pesawat? Aku harus gimana sih, bingung jadinya." Septi berbicara sambil mengeluarkan dan merapihkan pakaian- pakaian Angkasa yang akan di simpan di dalam lemari hotel.

Angkasa masih enggan berbicara, yang keluar dari bibirnya hanya 'deheman' saja yang nyaris tak terdengar di telinganya, jika saja suasana di kamar hotel ini tidak sunyi.

Sosok Angkasa yang selalu berisik baik dalam keadaannya yang menjadi atasannya maupun ketika mood menjadi kekasihnya, sungguh membuatnya terheran. Bahkan ketika mereka sedang bertengkar pun, suara Angkasa masih bisa terdengar walau begitu menakutkan. Namun kali ini jauh lebih menakutkan, ketika Angkasa hanya terdiam saja, tidak memberi tahu apa kesalahannya.

"Serius deh, kamu mau sampai kapan kayak gini sih? Aku harus ngapain. Kalau kamu diamin aku begini terus, mending aku pulang ke rumah deh."

"Kenapa? Buru- buru banget pulang ke rumah, karena memang kangen sama orang tua kamu, atau kangen sama orang yang mau jemput kamu di bandara?"

Septi menatap Angkasa sinis. Bagaimana bisa Angkasa berfikiran seperti itu? Siapa, siapa yang akan menjemputnya? Ia saja sendiri tidak tahu.

"Kamu makin aneh deh, beneran. Aku nggak ngerti. Dari tadi, kamu cuma ngeluarin kata- kata yang nggak aku ngerti. Kalau aku tanya, kamu diam lagi. Aku tuh—" Septi menahan suaranya, agar tidak mengeluarkan nada yang meninggi. "Aku tuh—harus gimana sih, biar kamu senyum lagi?"

Septi mengambil ponselnya, untuk mengecek pesan yang masuk, namun berualang kali ia lihat, tidak ada pesan masuk yang mencurigakan. "Aku nggak nemuin pesan masuk, yang mau jemput aku. Kamu baca dari mana sih?" Ia menyerah ketika berulang kali mengecek dan tidak ada hasilnya.

Tanpa sepengetahuan Septi. Angkasa yang sedang memegang ponsel Septi, setelah mendapatkan telfon dari clientnya melalui nomor Septi, ia tidak langsung mengembalikannya, terlebih ketika satu pesan masuk di ponsel Septi, yang membuatnya marah.

Ia juga langsung menghapus pesan tersebut sebelum mengembalikannya kepada Septi. Angkasa tidak ingin Septi membalasnya apalagi membacanya.

Angkasa juga tidak berani untuk membuaka pesan sebelumnya, yang ia yakin pastinya mereka sudah saling mengirim pesan tanpa sepengetahuannya. Bodohnya, ia tidak sempat membaca siapa yang mengirim pesan tersebut kepada Septi. Yang bisa ia terka adalah, si pengirim seorang pria.

"Kamu aneh!" Septi berdenyit ngeri.

Di tengah keheningan, suara panggilan masuk ke ponsel Septi. Ponsel tersebut berada di atas nakas. Kata 'halo' terdengar di telinganya. Bukan. Bukan dari si penelfon, melainkan suara itu berasal dari Angkasa.

Angkasa yang mengangkatnya, dengan posisinya yang begitu dekat dengan keberadaan ponsel milik Septi, membuatnya secepat kilat mengambil dan mengangkatnya.

Septi tidak mengetahui siapa yang menelfonnya. Ia juga sengaja tidak mau merebut ponselnya dari tangan Angkasa. Sungguh, ia malas sekali bertengkar. Apalagi dengan posisi Angkasa yang sedang dalam mood tidak baik seperti ini.

Dan raut wajah Angkasa semakin mengeras, menatap ke arah Septi. "Tidak perlu! Septi ada saya yang akan mengantarnya. Nggak usah repot- repot. Kalau kamu merasa sangat mengenal Septi, seharusnya kamu tahu jika Septi sudah memiliki kekasih. Dan jangan mencari kesempatan, karena saya tidak akan diam saja." Setelah itu, Angkasa mematikan telfonnya begitu saja.

Septi yang awalnya acuh terhadap panggilan telfonnya. Ia langsung menghampiri Angkasa setelah meletakan pesanan makanan yang baru saja di antarkan ke kamarnya, ke atas meja stool. Merebut ponselnya untuk mengecek siapa yang menghubunginya.

Dan... satu nama yang sangat ia kenali. Dean sahabatnya, sekaligus mantan kekasihnya. Bodohnya, ia lupa mengganti nama Dean di ponselnya. Jelas saja Angkasa begitu marah. Ia menuliskan nama Dean, dengan 'my best Dean' sedangkan Angkasa, tidak pernah ia rubah penulisannya.

Ia juga ingat, beberapa kali selalu bertengkar kecil dengan Angkasa, hanya karena nama Angkasa ia tulis di ponselnya tanpa kata- kata spesial yang dapat menunjukan bahwa Angkasa adalah kekasihnya.

Septi yakin, setelah ini kemarahan Angkasa semakin- semakin jauh lebih meningkat. Tamatlah riwayatnya.

***

"Kamu masih belum mau ngomong? Setidaknya makan dulu, kamu belum makan dari pagi." Septi sudah menyiapkan makanan untuk Angkasa, ia sengaja memesan makanan kesukaan Angkasa. Namun sayangnya makanan yang ia pesan sudah dari satu jam lalu, tidak pernah di sentuh oleh Angkasa. Bahkan di lirik saja tidak.

"Aku panasin lagi ya, habis ini harus makan, kalau nggak makanannya jadi nggak enak, karena keseringan di panasin, ya..ya.." Septi menghampiri Angkasa, merangkul tangan Angkasa, menyenderkan kepalanya di bahu Angkasa.

Septi memaksakan dirinya untuk merayu Angkasa, setidaknya ketika nanti malam ia dan Angkasa kerumahnya, suasana hati Angkasa sudah harus mencair, jadi tidak ada kecanggungan di antara ke duanya.

Walau masih dalam keadaan marah, yang Septi senang adalah Angkasa tidak searogan dulu. Tidak seperti awal- awal ia baru bertemu. Sekarang ini Angkasa lebih bisa meredam perasaan marahnya, menjadi lebih tenang, walau dalam posisi mendiaminya. Setidaknya itu jauh lebih baik.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang