43. Bersaing

1.3K 90 10
                                    

Acara sudah berlangsung hampir satu jam. Dan selama hampir satu jam itu juga, Angkasa hanya sesekali menghampirinya dan memastikan jika jas yang tadi Angkasa berikan untuk melindungi tubuh Septi tidak di lepas oleh Septi. Selebihnya Angkasa lebih memilih bergabung dengan beberapa kerabat yang ia kenal dalam acara ini.

Ada hal yang Septi tidak suka, ketika Diana menghampiri Angkasa, dan mereka berbicara cukup lama. Mengingatkannya kepada kejadian kemarin malam. Mungkin saja, jika Langit tidak menghampiri Angkasa dan Diana, kejadian kemarin malam ketika Angkasa memeluk Diana akan terulang lagi.

Terlihat jelas dari gerak tubuh Diana, yang ingin sekali mencari kesempatan. Kalau saja hubungannya dengan Angkasa lagi baik- baik saja, sudah pasti Septi akan mengikuti dimanapun Angkasa berada.

"Hai ..." Suara itu berhasil mengalihkan tatapan matanya dari Angkasa.

"Oh, hai ..." Septi hanya membalas seadanya.

"Kamu-"

"Aku baik- baik aja, maksudnya kabar ku baik- baik aja, kalau kamu cuma mau nanya hal itu."

Rian terkekeh. "Selalu menerka pertanyaan orang lain, aku nggak mau nanya itu. Kamu terjelas begitu baik, jadi nggak perlu pertanyaan basa- basi itu keluar dari bibir aku."

"Yaudah terserah kamu aja."

"Masih marah?" Ada senyum tipis yang menggoda dari bibir Rian.

Septi mendengkus. "Harus aku jawab nggak sih pertanyaan kayak gini? Penting nggak sih." Septi sudah mau meninggalkam tempatnya saat ini, namun tangannya di tahan oleh Rian.

"Oke, sori. Kita perlu ngobrol banyak setelah ini."

Septi memincingkan matanya. "Kalau perlu kamu tahu, obrolan kita sudah berhenti tepat kamu selingkuh dari aku, dan nggak ada yang perlu di bahas lagi."

"Galak kamu nggak berubah- ubah." Goda Rian.

"Bisa nggak sih, mau kamu pakai cara apapun, itu nggak akan ngaruh lagi."

"Oke- oke ... kita dansa aja gimana? Dulu kamu paling senang kalau dansa. Kita bisa coba—".

Tidak ada lanjutan lagi dari ucapan Rian, lantaran Septi langsung menarik tangannya, setelah Septi melepaskan jas yang bersandar rapih di pundaknya.

Rian melihat jas yang ada di pundak Septi sedari tadi, namun ia tidak pernah melihat ada seorang laki- laki yang berada di sisi Septi, sehingga membuatnya bisa kembali menggoda Septi.

Perbincangan Septi dan Rian tak lepas dari sepasang mata yang menatapnya geram. Ada kilatan amarah yang begitu membakar hatinya. Jika bukan karena posisinya yang masih berbicara kepada Diana saat ini, mungkin Angkasa sudah menghampiri Septi dan membawanya pulang ke apartemennya.

Angkasa semakin murka, ketika Septi melepaskan jas yang tadi ia berikan. Dan tangan pria sialan yang telah melingkari pinggang Septi membuatnya ingin menghajar pria lain yang berani menyentuh kekasihnya itu.

***

Angkasa semakin terlihat geram, mana kala tangan sialan itu seakan terlihat mengelus punggung Septi yang sedikit terbuka. Waktunya terlalu santai saat Diana menahannya untuk mendengarkan ceritanya. Karena tertahan oleh Diana, ia harus membiarkan Septi berurusan dengan pria lain. Angkasa menyesali waktunya. Sungguh- sungguh.

Dengan gerakan langkah kaki yang lebar, Angkasa menghampiri Septi dan Rian yang sedang berdansa. Memisahkan keduanya secara paksa, menarik Septi ke belakang tubuhnya, dan tidak lupa ia melayangkan pukulannya tepat di pipi Rian. "Jangan berani- beraninya nyentuh milik gue!" Bentaknya.

Karena ulah Angkasa, mereka bertiga menjadi tontonan gratis. Septi yang tidak suka di pandang sepihak, karena semua orang pasti akan berfikir kalau Septi adalah dalang dari kekacauan ini.

Sebelum menarik tangan Angkasa yang akan terlihat kembali memukul Rian, Septi sudah berada di tengah- tengah antara Angkasa dan Rian. Septi sempat meminta maaf kepada Rian, setelahnya ia benar- benar menarik tangan Angkasa dan meninggalkan acara yang masih berlangsung, dengan kekacauan di dalamnya.

Kembali tidak ada suara dari keduanya. Keduanya sama- sama terdiam dengan terbalutkan emosi. Septi memejamkan matanya, menahan sebuah makian yang mungkin saja keluar dari bibirnya.

Begitu juga dengan Angkasa. Demi menutupi amarahnya yang begitu kuat, Angkasa mencekram stir mobil begitu kuat, sampai tangannya memutih karena pegangan erat itu.

"Turunin aku di depan sana." Tangan Septi menunjuk ke arah halte yang tidak jauh daro tempatnya.

Ada kekehan kecil dari bibir Angkasa. "Aku turunin kamu di sana, dengan pakaian kamu yang seperti ini?" Angkasa menatap Septi remeh.  "Cukup tadi kebodohan yang aku izinin untuk kamu. Seharusnya aku nggak perlu nunggu kamu selesai acara untuk merobek gaun kamu. Seharusnya sedari tadi kamu darang ke venue sudah aku robek gaun sialan ini." Angkasa memukulkan tangannya pada setir mobil.

Septi menatap Angkasa dari samping dengan remeh. "Kebodohan kamu seharusnya nggak perlu kamu sesalin. Kamu juga puas kan, bernostalgia sama mantan kesayangan?"

"Bales dendam kamu receh banget, Septi!"

"Terserah kamu mau bilang apa, setidaknya aku nggak pernah ganggu kamu."

"Ya .. ya.. aku ngerti, kamu merasa aku mengganggu kemersaan kamu sama laki- laki lain, hah? Apa yang aku lakuin adalah hal yang wajar, jika melihat wanitanya di sentuh pria lain. Semua laki- laki akan melakukan hal yang aku lakuin." Ujar Angkasa tegas.

"Turunin aku di depan sana!" Kali ini suaranya sedikir berteriak.

Namun tidak menghasilkan apapun. Angkasa tetap melajukan mobilnya, dan tidak menuruti keinginan Septi. Angkasa justru mengarahkan setirnya berbelok ke arah hotel berbintang lima, yang tidak jauh dari lokasinya.

Memberhentikan mobilnya tepat di lobi hotel. Setelah turun ia menarik tangan Septi dan menariknya dengan kecang. Sehingga mau tidak mau, Septi hanya mengikuti langkah kaki Angkasa, yang semakin membawanya masuk kedalam hotel.

Angkasa tidak berhenti di resepsionis, langkahnya terus berjalan melewati dan berhenti di depan lift. Masuk ke dalam lift, lalu menempelkan key card yang ada di sakunya, menekan angka dua puluh tiga sebagai tempat yang akan di tujunya.

***





Update lagi 💪💪💪, jangan lupa dukungannya dengan menklik gambar bintang ...
Vote yang banyak ya ...!

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang