35. Sakit Nggak?

2.1K 80 2
                                    

Pagi- pagi sekali Septi sudah terbangun dari tidurnya. Padahal ia baru beberapa jam lalu bisa tertidur nyenyak. Namun kini ia sudah harus membuka mata kembali.

Jika bukan karena amanat dari Ibunya, mungkin saat ini ia masih tertidur di dalam pelukan pria yang baru saja memilikinya seutuhnya. Yaa ... pria itu, masih terlihat tertidur dengan nyaman di kasur yang baru saja ia tinggalkan.

Pukul lima subuh tadi, Mayang, Ibu Septi menghubunginya untuk memaksa Septi berserta Angkasa untuk sarapan di rumah.

Mayang tidak mau mendengar alasan pekerjaan lagi, sehingga membuat anak dan kekasih anaknya batal datang ke rumah, seperti kemarin.

Di batin Septi, jelas ia tahu. Yang membatalkan kedatangannya ke rumah kemarin, bukanlah karena pekerjaa. Namun karena—hal lain. Hal yang lebih—Septi tidak dapat mengungkapkannya. Nyatanya ini masih seperti mimpi baginya. Ia sepertinya harus berterimakasih kepada Dean. Karena dirinya jugalah, ia mendapatkan sesuatu yang—mungkin sudah lama ingin ia coba.

"Iya Ibu ... ini aku kan harus siap- siap dulu. Ini masih subuh Bu, aku pastiin sampai rumah jam delapan. Beneran semalam tuh ada kerjaan mendadak banget, ia nanti aku bakalan nelfon Dean, memang kemarin nggak sempat aja. Aku aja harus sampai 'begadang'."

Septi harus berbohong sedikit kepada Mayang. Bukan sedikit sebenarnya, namun banyak. Itu juga ia melakukannya karena terpaksa. Tidak mungkin kan, ia menceritakan hal yang sebenarnya kepada Mayang, yang ada ia malah di larang pulang ke rumah.

Septi sudah harus bersiap- siap sebelum membangunkan Angkasa, jika tidak, mungkin akan lebih lama lagi sampai ke rumah.

Terlebih lagi. Ia masih merasakan nyeri, dan ia tidak mau Angkasa mengetahui rasa nyeri yang ia rasakan saat ini.

"Bangun ... sayang." Septi mengelus rambut Angkasa, ia juga duduk di pinggir kasur, dan mendudukan tubuhnya dengan hati- hati, menahan perih yang masih ia bisa rasakan.

Hanya sebuah gumamam, respon yang Angkasa berikan kepada Septi.

"Bangun ... Ibu nelfon aku, kita harus sarapan di rumah. Kalau nggak, sekalian aja katanya aku nggak usah pulang ke rumah." Septi ingat. Jika Ibunya sudah mengeluarkan kata- kata seperti itu, berarti Ibunya sudah sangat kecewa kepadanya.

"Sebentar lagi. Hmm ... lima menit lagi deh." Angkasa mendekatkan tubuhnya ke arah Septi, menelusupkan wajahnya di pinggang Septi.

"Nggak bisa. Harus sekarang. Udah jam tujuh, ayoo bangun."

Angkasa mendengkus. "Iya sayang ..."

Angkasa berdiri, melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi. Namun baru beberapa langkah kakinya berjalan, Angkasa berbalik lalu melangkah kembali ke arah Septi. "Selamat pagi." Angkasa mencium bibir Septi, hanya kecupan saja. Namun membuat Septi berbunga- bunga.

Angkasa melangkah mundur sambil menatap ke arah Septi, menelisik penampilan Septi dari atas sampai bawah. Sepertinya, ia baru menyadari suatu hal.

"Kamu ..." Angkasa tampak berfikir, sebelum kembali berbicara. "Udah siap? Hmm, apa nggak ada yang sakit tadi?" Angkasa menggaruk pelipisnya.

***

"Kamu beneran nggak ngerasain sakit apa- apa? Beneran?"

Rasanya Septi sudah lelah mendengarkan pertanyaan, yang lagi- lagi isinya selalu sama.

"Kamu butuh jawaban yang kayak gimana sih?" Septi menatap Angkasa geram. "Aduuh sayang, sakit banget. Aku nggak bisa jalan, aku butuh kamu gendong aku, untuk aku bisa kemana- mana. Gitu, mau kamu?"

Angkasa tertawa mendengar ucapan Septi. "Yaa, nggak sampai begitu juga sayang. Biasanya orang- orang begitu, suka sakit sampai merintih kalau baru pertama kali. Jadi aku fikir kamu—." Ucapan Angkasa terhenti, ia menatap Septi yang sepertinya, dari tatapan Septi bisa menusuk dadanya.

"Orang- orang itu, yang kamu maksud siapa?" Septi berdecak pinggang, menunggu jawaban Angkasa. "Ayoo, jawab!"

Menelan salivanya dengan hati- hati. Angkasa menatap Septi penuh keyakinan. "Nggak ada. Kamu yang pertama buat aku juga."

"Jangan bohong! Kamu fikir aku bisa di bohongin? Hal yang nggak mungkin aja. Kamu lama di luar negeri. Kalau memang kamu lama sendiri, setidaknya aku yakin, ada cewek- cewek bayaran yang kamu bayar kan?! Ngaku aja!"

Tidak tahu kenapa, kata 'orang- orang' yang tadi Septi dengar dari bibir Angkasa membuatnya sangat kesal.

"Serius kamu yang pertama. Yang sebelum- belumnya, ya ..." Angkasa benar- benar menyaring ucapan yang akan keluar dari bibirnya. Ia tidak mau, membuat Septi semakin kesal di pagi hari. Karena ia tahu, jika membuat Septi kesal di pagi hari, pastinya akan berlanjut sampai seharian penuh. "Aku memang bukan pria baik- baik. Aku pria brengsek. Tapi aku pilih- pilih juga lah, orang yang akan aku masuki. Nggak asal main aku masuki." Ujarnya yakin, demi menambah keyakinan kepada Septi.

Septi mengepalkan tangannya, mengangkat ke atas, melihatkan gempalan tangannya ke arah Angkasa. "Awas aja kamu bohong!"

"Kalau kamu marah- marah terus, kita kapan berangkatnya?" Tanya Angkasa.

"Siapa yang mulai? Kamu kan!" Sahut Septi dengan kesal.

***

"Kamu tahu nggak? Ibu minta aku untuk hubungi Dean. Aku harus minta maaf, karena kemarin Dean udah nungguin aku sampai malam, dan dengan seenaknya sampai malam, aku juga nggak kunjung datang."

Angkasa tak memberikan responnya sedikitpun. Dengan gumamamnya saja yang seperti biasanya Angkasa lakukan ketika kesal saja, tidak Angkasa lakukan.

Septi menelisik ke arah Angkasa. Angkasa diam saja tidak bergeming di balik kemudinya.

"Tadi. Kalau kamu nggak bilang, kalau kamu udah sewa mobil, mungkin Ibu bakalan nyuruh Dean yang jemput, karena kalau nunggu Mas ku, yang jemput pasti lama banget, bisa dzuhur kita sampainya—"

"Sori, nggak lihat kalau di depan ada polisi tidur."

Septi menatap Angkasa dengan tajam. "Kamu sengaja ya! Sengaja biar aku kepontok sama dashboard."

Angkasa terkekeh. "Nggak sengaja sayang." Tangannya menyentuh kening Septi, mengelusnya dengan lembut. "Sakit, ya? Duduknya yang benar makanya. Safety belt nya jadi nggak berfungsi kan."

"Kamu—gara- gara kaku pokoknya. Kenapa diam aja daritadi? Aku daritadi ngomong sama kamu. Tapi kamunya nggak ngerespon aku sama sekali. Jahat!"

"Hei ... maafin aku ya. Aku selalu kesal kalau kamu sebut- sebut nama mantan kamu. Aku—"

Septi mendengkus. "Kamu percaya sama aku kan? Kamu cuma butuh percaya sama aku, dan semua kekesalan kamu akan hilang. Percaya deh."

"Iya aku percaya."

"Nggak yakin gitu, ngomongnya, kamu masih nggak yakin sama aku?"

Angkasa mencubit pipi Septi. "Udah mulai bisa ngelawan ya, sekarang!"

"Sakit." Septi memegang pipinya, yang baru saja di cubit gemes oleh Angkasa. "Kayaknya bisanya, kamu nyakitin aku terus dari semalam."

"Yang semalam, sakitnya, sakit- sakit enak kan? Kamu aja sampai ketagihan." Angkasa menggoda Septi.

"Sembarangan. Kamu tuh! Ihh ..." Septi menutup mata dengan kedua tangannya. "Ihh nggak tau deh."

Angkasa tertawa melihat tingkah Septi yang malu- malu. Melihat wajah Septi yang memerah karena godaanya.

"Jangan macem- macem kamu! Nggak akan aku kasih lagi." Septi membuang mukanya dan lebih memilih menatap jalanan, daripada mendengarkan Angkasa yang justru kembali merengek kepadanya.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang