4. Klinik

2.7K 175 6
                                    

Septi meringis karena luka di tangannya bukanlah luka kecil. Sepertinya goresan yang ia dapat, lukanya cukup dalam.

Setelah insiden penarikan bingkai secara kasar yang dilakukan oleh Angkasa, Septi langsung keluar begitu saja dari ruangan Angkasa. Berlari ke pantry mencari kotak P3k. Ia sempat membasuh tanganya menggunakan air mengalir terlebih dahulu, untuk menghilangkan darah yang keluar dari lukanya. Dirasa sudah tidak mengeluarkan darah lagi, Septi langsung menutupnya dengan kain kasa secara asal saja.

"Masih berdarah itu Sep, coba di basuh air lagi." Nadia meringis melihat darah yang mengalir dari telapak tangan Septi. "Gue ambilin obat merah dulu. Besok kalau masih begitu, pagi izin ajalah, kayaknya harus di jait." Nadia sambil mencari- cari obat merah yang ia butuhkan.

Septi mengernyit. "Luka cuma segini, nggak perlu deh."

Nadia membuka telapak tangan Septi. "Itu lihat, lumayan banget, dalam lagi kayaknya, makanya darah keluar terus, besok pagi ngeri deh lo udah pucet, kehabisan darah."

Septi melemparkan tissue roll dapur ke bahu Nadia. "Sembarangan lo! makanya gue minta tolong ini di perbanin."

"Angkasa nggak tanggung jawab banget lagian, cuma perkara foto aja, berlebihan gitu." Nadia terus ngedumel, namun tangannya tetap bekerja untuk memperbani luka ditangan Septi. "Firasat gue bener kan? Untung gue tetap maksa lo, megang kunci mobil, kalau nggak, cari kendaraan umum dimana jam satu malam gitu."

Septi mengangguk. "Nggak salah memang, gue percaya sama firasat lo."

"Ponsel lo bunyi terus, nggak mau lo angkat?" Nadia melirikan matanya ke ponsel Septi yang letaknya tidak jauh darinya. "Angkasa tuh, kenapa dia mulai sadar, berasa bersalah?"

"Padahal sebelum ketemu dia lo selalu banggain ya, lain kali jangan percaya sama kata- kata orang, kalau kita belum rasain, kejebak sendiri jadinya." Imbuh Nadia.

"Hhm. Tidur Nad, udah malam, makasih ya."

"Yes. Jangan lupa besok, ke rumah sakit dulu, atau klink bawah. Perlu gue temanin?"

Nadia menggeleng. "Sendiri, sebentar paling."

"Oke. Lo juga tidur, kerja lo keras banget, bagai kuda." Goda Nadia.

***

Septi terus memperhatikan ponselnya yang tidak berhenti- henti berdering. Baru mati sebentar ponsel itu menyala kembali. Selain telfon yang masuk, ada juga beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Dengan nama yang sama. Angkasa.

Seharusnya ia tidak boleh merasa marah dengan Angkasa. Kalau di pikir- pikir ini hanya goresan biasa, biasa sekali, walaupun darahnya tidak berhenti- henti. Kasa bersih yang baru dipasangkan Nadia, sudah bernoda kembali.

Ia marah dengan Angkasa bukan karena cemburu. Kalau cemburu, bukankah terlalu cepat? Ia baru bertemu Angkasa officially ya hari ini, walaupun seharian bersama dengan Angkasa, Septi fikir tidak secepat itu untuk menimbulkan perasaan. Septi hanya merasa kecewa saja. Walaupun seharian ini mereka selalu berdebat, Angkasa tidak pernah memberikan tatapan menusuk, namun karena sebuah foto tadi, tatapan itu seakan ingin menusuk Nadia.

Bukan hanya tatapan, tapi perkataan. "Saya bantuin kerjaan kamu, bukan buat kamu bisa lancang menyentuh barang- barang saya, kita bertemu baru satu hari ini, bukan karena tadi saya minta bantuan kamu, terus kamu bisa seenak- enaknya menyentuh sesuka kamu."

Itu hanya bingkai yang di dalamnya terdapat foto. Dan Septi tidak merusak sama sekali. Justru tangannya lah yang terluka, ditambah hatinya.

Terlalu lelah, Septi juga enggan mengangkat maupun membalas pesan dari Angkasa. Septi memilih mematikan ponselnya, dan meletakan ponselnya sejauh mungkin dari jangkauannya. Kenapa hari pertamanya bekerja di Jakarta serumit ini?

***

Dengan terpaksa, Septi mengikuti saran Nadia. Darahnya tidak berhenti- henti. Kepalanya juga cukup pening, ketika melihat kasanya sudah berganti warna.

Sebelum berangkat ke klinik, melalui ponsel Nadia, Septi meminta izin untuk masuk setengah hari melalui HRD. Septi belum membuka ponselnya, dari semalam semenjak ia mematikan daya baterainya. Iya juga tidak mau meminta izin ke Angkasa kalau ia akan datang setengah hari ke kantor.

Septi mengernyit ketika kain kasanya di buka oleh dokter. Dan benar saja kata Nadia, lukanya memang segaris, namun sepertinya ketekan dan jadinya cukup dalam lukanya.

Sebelum lukanya di jahit, terlebih dahulu Septi di beri anastesi. Walaupun pada saat dijahit tidak terasa sakit, namun ia melihat secara langsung proses menjahitnya, dan itu sangat ngilu. Berulang kali ia meringis melihat tangannya. Untungnya hanya tiga jahitan saja, tapi itu sangat lumayan sekali, hanya untuk sebuah goresan.

Setelah jahitannya selesai, dokter juga mengatakan untuk Septi mengambil obat pereda nyeri di apotek. Karena setelah anastesinya habis, jahitannya akan terasa perihnya. Dan oh... lengkap sekali lukanya. Sebelum dijahit terasa perih, dan setelah di jahit juga sama aja.

Ternyata proses menjahit lukanya tidak membutuhkan waktu lama. Namun karena Septi sudah izin setengah hari, ia enggan datang ke kantor buru- buru. Hari ini ia lebih memilih untuk naik kendaraan umum saja, mobilnya ia kasih ke Nadia, karena ia harus buru- buru datang ke kantor karena ada meeting dadakan. Pilihannya tidak salah, karena harus menggunakan kendaraan umum, jadi ia tidak akan cepat sampainya ke kantor.

Sambil menghabiskan waktu, Septi memilih mencari sarapan terlebih dahulu. Ia memilih kafe yang tidak jauh dari kantornya. Hari ini ia lagi malas, sarapan yang berat- berat, ia lagi ingin sarapan dengan cake- cakean kekinian. Ditambah dengan teh hijau, untuk mentralkan rasa manis. Perpaduan yang sangat pas bukan?

Sambil menunggu pesanannya datang, Septi menghidupkan kembali ponselnya. Mau tidak mau, ia harus melihat ponselnya, siapa tahu ada pekerjaan mendadak yang harus ia kerjakan ketika tiba di kantor nanti.

Isi notifikasinya di dominasi oleh panggilan tak terjawab dan pesan yang belum di buka dari Angkasa. Dengan jumlah pesan yang tidak main- main. Septi hanya menggeleng- geleng melihat pesan dari Angkasa yang tidak berhenti. Yang membuat Septi kecewa adalah tidak ada kata maaf satupun, yang Angkasa ucapan pada saat mengiriminya pesan. Pesan yang Angkasa kirim kebanyakan hanya menyuruhnya mengangkat panggilannya, menanyakan dirinya ada dimana, kenapa tidak angkat ponselnya dan ... kenapa ia tidak menunggunya ketika pulang.

Tidak tahukah Angkasa, jika Septi menunggu kata maaf dari Angkasa, setidaknya ucapan menyesal atau sejenisnya. Namun dari pesannya ia sama sekali tidak perduli dengan perasaan dan luka di tangannya.

Septi kembali menutup ponselnya. Layarnya ia tumpu pada meja di atasnya. Ia hanya ingin menikmati paginya dengan melihat pemandangan macet didepan sana. Padahal jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi, namun jalanan masih saja ramai.

Hingga sebuah pesan baru, masuk ke notifikasinya. Aya, HRD dikantornya memberikan pesan, jika Angkasa mengamuk di kantor. Setelah Aya memberitahu ke Angkasa kalau Septi masuk setengah hari tanpa keterangan yang jelas, Angkasa langsung mengadakan rapat dadakan membahas izin kantor. Aya juga memberitahu kalau Angkasa membentak beberapa karyawannya secara random, yang tidak sesuai dengan pikirannya.

Di saat sedang meringis membaca pesan dari Aya. Panggilan masuk muncul di layarnya. Dengan panggilan yang masih berdering, sebuah pesan baru masuk muncul di layarnya.

Angkasa Razel :
Saya tahu kamu lagi online, sekarang angkat panggilan saya dan segera menuju ke kantor!

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang