18. Sakit

2.1K 122 0
                                    

Irwan Arya P. :
Kalau lo masih nungguin kabar Angkasa, Angkasa ada di apartemennya nggak bisa bangun.

Sakit kayaknya deh.

Lagian udah lama nggak minum, pakai sok- sokan minum.

Tanggung jawab lo, kata anak- anak pas mabok dia sebut- sebut nama lo terus.

Punya salah apa Angkasa sama lo, sampai mengalihkannya lewat alkohol?

Padahal, udah jarang banget dia nggak minum.

Ck. Susulin gih.

Septi baru saja membaca pesan masuk dari Irwan, dia menyampaikan kabar Angkasa yang seharian ini tidak ada kabarnya.

Padahal seharian ini Septi tidak diam saja menunggu kabar Angkasa. Ia sudah berulang kali menghubungi Angkasa, namun tidak ada jawaban. Panggilan telfonnya selalu di reject, kotak pesannya juga tidak ada yang dibales satupun.

Kalau Irwan mengetahui kondisi Angkasa, berarti Irwan berhasil menghubunginya.

Jika dipikir- pikir seharusnya ialah yang marah dan bukan Angkasa. Tapi disini seoala- olah kalau Septi lah yang bersalah. Bukankah itu tidak adil untuk Septi?

Sepulang kerja ini, Septi sudah punya janji untuk menemani Nadia ke salon. Selama berada di salon, pikiran Septi selalu menuju ke Angkasa. Tidak ada satu detikpun pikirannya tanpa memikirkan Angkasa.

***

Setelah mengantarkan Nadia sampai apartemen, ia mengatakan pada Nadia kalau ia tidak ikut turun, karena ada urusan yang harus ia kerjakan. Nadia tidak banyak bertanya. Dia hanya minta di kabari, pulang atau tidaknya Septi nanti ke apartemen.

Selama di perjalanan tadi, Septi selalu menimbang- nimbang apakah dirinya harus menemui Angkasa di apartemennya atau tidak?

Mobilnya sudah terparkir di depan kedai bubur ayam. Ia sengaja mengelilingi sekitaran apartemen Angkasa untuk membeli bubur. Keputusannya adalah ia akan mengunjungi apartemen Angkasa.

Tidak berbohong, kalau pikirannya tentang Angkasa sudah kemana- mana. Bagaimana jika Angkasa benar- benar tidak bisa bangun, bagaimana jika Angkasa belum makan seharian?

Walau belum memberikan hatinya kepada Angkasa. Namun Septi tahu jika hatinya selalu risau jika Angkasa tidak memberikan kabar kepadanya. Biasanya Angkasa selalu memberikan kabar kepadanya. Bahkan sampai membuat dirinya kesal sendiri, lantaran Angkasa tidak henti- henti menghubunginya.

Karena sudah terbiasa berada di apartemen Angkasa, dengan mudahnya Septi naik ke apartemen Angkasa tanpa bantuan satpam. Ia juga sudah mengetahui kode pintu apartemen Angkasa.

Sesampainya di depan unit Angkasa. Septi kembali menimbang keputusannya. Ia tampak ragu memasukan kode pin untuk membuka pintu apartemen Angkasa.

Akhirnya Septi memutuskan untuk memencet bel apartemen Angkasa. Dan sudah lima menit berlalu, Angkasa belum juga membukakan pintunya. Dalam hitungan mundur, Septi akhirnya memasukan kode pin apartemen Angkasa.

Tidak mungkin ia tidak khawatir. Apalagi jika mengingat pesan Irwan tadi, yang mengatakan jika Angkasa tidak bisa bangun.

Dan benar saja, Angkasa masih tergeletak di kasur dalam keadaan yang sangat berantakan. Pakaian yang kemarin ia gunakan juga belum terganti dari tubuhnya. Kamarnya seperti kapal pecah.

Septi mendekati Angkasa menyentuh kening Angkasa. Benar saja dugaannya, melihat wajahnya yang memerah, suhu tubuh Angkasa panas sekali.

Sebelum mengambil air hangat untuk menkompres Angkasa, Septi membukan dasi yang masih setia menempel di kerah kemeja Angkasa. Membuka beberapa kancing atas kemeja Angkasa yang terlihat seakan mencekik lehernya.

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang