1. Arteria Zicco T

60.8K 4.5K 92
                                    

"Butuh buku apa lagi? Kalau algoritma tatalaksana stroke terbaru mending cek di jurnal. Atau slide kuliah Prof Danang, lo punya? Buku lo ini udah kejadulan."

Kacamata frame abu doff itu bertengger sempurna di hidung saat melirik pada buku yang sedang kubuka sembari berjalan ke perpustakaan rumah sakit. Mata sipit khas Koko-Koko, menampakkan ketajaman. Apalagi jika sedang senyum. Ada kerut amat menakjubkan, timbul di ujung sudut mata.

Gerakan jari telunjuk dan tengahnya lincah menggulir iPad. Bisa-bisanya dia tidak menabrak tiang. Padahal, hilir-mudik manusia yang berpapasan dengan kami di koridor rumah sakit, lumayan padat.

Iya. Buku Ajar Neurologi Klinis ini—kitab wajib koas Saraf— terbitnya telah melampaui 10 tahun lalu. Beberapa slide presentasi dosen banyak pembaruannya. Para guru mengajarkan pada kami, protap baru merunut keputusan persatuan profesi spesialis. Ada yang masih sama, ada pula yang berbeda jauh.

Ilmu pengetahuan sangat dinamis. Bisa saja apa yang kami pakai hari ini, tak lagi diacu 10 tahun ke depan. Mungkin apa yang terasa mustahil sekarang, bukan tidak wajar dijadikan panduan masa mendatang.

"Tatalaksananya udah punya Kak. Yang belum, kalau tiba-tiba dikasih kasus yang bukan stroke. Matiklah gue!" jawabku sedikit lembut. Menampilkan sekelumit gen elegan milik Ibu di antara 90% kespontanan polosku yang seringnya mengacaukan urusan pencarian jodoh.

"Makanya belajar!!"

Jari pria berkulit putih itu menyentil dahi. Rasanya seperti digigit semut sebatas epidermis saja. Namun, efeknya di dalam sini tidak sesimpel itu, Ferguso. Hatiku ambyar!

"Kisi-kisi senior nggak ada tuh yang aneh-aneh. Gue aja ujian sama Dokter Sanjay gampang banget. Harusnya sih stroke juga ya. Biar lo hafal sampe ngelotok!"

Ucapan selanjutnya tidak begitu kuperhatikan. Aku sibuk memunguti cerai-berai perasaan imaginer di lantai yang kulalui.

Lima bulan lalu, kami bertemu di stase Psikiatri. Stase paling menyenangkan. Bisa bersamanya selama dua minggu, selain berinteraksi dengan pasien gangguan jiwa, juga paling santai jadwal jaganya, membuatku tak perlu mengurut kening memikirkan beratnya hidup seorang ca-dok.

Takdir seolah mencandaiku. Kami terus bersama di stase selanjutnya. THT, Bedah, lalu terakhir stase Anak, sebelum berpisah oleh ketuk palu staf bagian Pendidikan. Ia terdampar di stase Saraf, sedangkan aku melesat ke Mata. Sekarang dia lulus dari Saraf, aku yang justru baru menjadi juniornya setelah pria itu hengkang ke Anestesi.

Arteria Zicco T.

Jangan sekali-kali menaruh hati pada lain haluan. Akibatnya akan berakhir patah hati. Kalau tidak, ya, cinta sendiri.

"Pin? Woii ... Pin!" Aku gelagapan gara-gara teriakan seorang koas perempuan berkerudung. Sedang asik-asiknya memandang punggung lebar nan sandarable milik Kak Arter, sindiran cempreng Alana menggaung di telingaku. Disusul cekikikan menyebalkan. "Lo ngelamun?"

Pemilik punggung turut menengok. Lalu, apa yang selama ini selalu kunanti jika bersamanya terbit begitu mencerahkan. Ia menarik sudut bibirnya. Matanya hampir menutup, tapi aku suka sekali lekukan yang tercipta karenanya. Aku bisa saja bersembunyi saat ia tertawa. Ia benar hampir memejam.

Dua detik menikmati ciptaan Maha Kuasa, sebelum aku menurunkan pandangan. Perintah menjaga mata memang tak hanya untuk laki-laki. Godaan makhluk ketiga, ditambah orang ketiga—Alana— juga gemuruh debar dada tak kunjung mereda, adalah alasan paling logis mengapa aku harus menunduk segera.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang