Seminggu lebih terlewat, dan kami baru hanya bermalam bersama di rumah sebanyak 2 kali sejak kepulangan kala itu, dimana Mas Iyo memelukku di mobil. Apakah aku harus berterimakasih atau sedih? Entahlah. Yang pasti, jadwal jaga seakan memisahkan kami untuk sementara. Kecuali, beberapa 30 menit di morning circle yang dia ampu, juga tak banyak waktu-waktu kosong dimana kami sengaja janjian bertemu.
What did we do? Kami hanya makan, saling bertukar kabar, sekaligus menyusun rencana, mengumpulkan syarat penandatanganan berkas pernikahan di KUA.
This relationship was so weird for me. Apalagi, setelah kami sepakat mengubah panggilan saya menjadi aku. Akunya yang lebih sering keceplosan. Sedang Mas Iyo tetap konsisten pada penyebutan kata ganti orang pertama itu. Baru tobat setelah Bulek Mimah, asisten yang dikenalkan padaku pagi harinya, tak henti tersenyum geli tiap mendengar obrolan kami yang saya-saya. Beliau bilang, aku mirip anak SD sedang menjawab ujian lisan Pak gurunya. Even, aku telah mencoba mencairkan suasana, kekakuan tetap terasa. Contohnya, tiap selesai Subuhan berjamaah, aku mencium punggung tangan Mas Iyo. Dia pun melimpahkan kasih sayangnya di ubun-ubunku. Harusnya semua terasa biasa karena telah beberapa kali kami melakukan kegiatan ini. Tentu, atas dasar asas mengalah dan belajar mencintai. Namun, yang ada, debaran tak tentu terus menyerang. Lama-lama, aku takut aritmia.
Kakiku sembuh ... secara terpaksa. Thanks to jadwal jaga yang memaksa terus berolahraga secara tak langsung. Tunggang langgang ke poli karena broadcast bimbingan dadakan. Mendorong brankar dari VK bangsal lantai satu ke OK IBS lantai dua, atau OK IGD di gedung sayap depan jika persalinan tidak bisa dilakukan secara pervaginam. Belum yang paling bikin aku geregetan ingin memindahkan laboratorium PK ke lantai satu tengah gedung, adalah permintaan lab pre-op yang tidak kira-kira. Bolehlah kalau sekali jalan, aku bawa beberapa preparat. Ini, baru juga pulang menyetor darah, bidan dan residen R1 resek menyodorkan request baru. Aku tahu, mereka juga terdesak oleh seniornya sih. Tapi bukan begini caranya, please.
Soal Kak Arter, dia benar menjodohkan nama kami bersama dalam beberapa jadwal jaga. Tidak semua, karena kuyakin agar tidak dicurigai teman lain. Namun, di pagi hari menjelang jaga, aku pasti kongkalikong tukar ganti bersama Alana dan Sasi. Alana paham maksudku. Hanya pada Sasi, aku harus mencari alasan sahih. Juga Kak Arter yang mulai curiga dari penolakan-penolakanku.
Seharusnya aku bahagia, Kak Arter mengajakku combo dalam jadwal yang sama. Anehnya, ucapan Ibu benar. Allah seolah menutup pintu hatiku untuk yang lain, lantas hanya memandang seorang suami saja. Laki-laki halal yang perhatiannya tak kalah dari Kak Arter.
Speak of Kak Arter's sign of love, aku mulai membatasi membalas pesannya. Jika soal agama, masih akan ku-forward ke Naina atau Ilham, lalu kuteruskan juga jawaban mereka ke Kak Arter. Tentang kabar, posisi, sedang melakukan apa, aku hanya membalas pendek-pendek, dengan menambahkan alasan kalau sedang tidak bisa lama-lama mengobrol lebih di chat bersamanya.
Semua berjalan lancar kecuali hari ini. Tak ada teman yang bisa kuajak bertukar.
----------
Dingin.
Suasana Instalasi Bedah Sentral terasa bagai kulkas raksasa menyeramkan di pukul delapan malam. Seharusnya, operasi Caesar pada jam jaga dieksekusi di OK IGD. Namun, tepat ketika malam ini, ada 3 pasien masuk bersama-sama, dimana ketiganya indikasi operasi cito (darurat).
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...