Di sudut ruang VK yang sebesar bangsal rawat kelas 3 ini, kami para koas bersama residen R1-R3 berkumpul. R5-R7 baru akan dipanggil jika kondisi mendesak, misal ada penyulit persalinan. Bagai jelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar, Mas Iyo muncul tiba-tiba. Menjadikan kami yang sejak tadi telah kucel, mengantuk, kesadaran di awang-awang, langsung terperanjat berdiri.
Aku sudah merinding, harus melihat Dokter Yudi melakukan pemeriksaan dalam pasien untuk melihat telah sampai mana pembukaan mulut rahimnya. Sekarang, lelaki yang kuanggap takkan ke sini-sini lagi, dengan sok bergaya super rapinya setelah mandi, makan, scrub Obgyn warna pink muda menguar Sauvage Man by Dior, sneakers putih, langsung mengubah hawa-hawa 5 Watt kami.
Mas Iyo memeriksa dua ibu hamil yang mulai mengaduh-aduh parah.
"Bentar lagi ya, Bu. Jangan ngejan. Belum waktunya. Sabar ya? Nafasnya diatur," katanya lembut sambil mengusap-usap perut ibu hamil dari luar baju. Aku yang panas dingin. Ya Allah, bisa tidak suamiku nggak usah Dokter Obgyn? Kutolehkan jauh-jauh pandangan agar tidak perlu menonton adegan medis itu lebih lama lagi. Harusnya sih, ini normal saja bagi calon dokter lain. Cuma memang mungkin aku yang kelainan.
"Dokter Tora mana? Udah siapin VK-nya?"
Dokter Tora adalah salah satu residen R1 yang berjaga malam ini. Pekerjaannya paling berat dan dihindari, tapi mau tidak mau harus dilalui. Residen ter-mobile seantero RS, yang berharap punya pintu kemana saja Doraemon, namun nyatanya itu hanyalah isapan jempol. Menyiapkan perlengkapan partus. Memastikan seluruh syarat melahirkan pasien telah diceklis, ikut mendorong brankar, memandu mengejan, paling bagus mendapat jatah sebagai asisten R3 menjahit. Ini pun pakai undian rebutan bersama koas dan adik kebidanan. Life is so hard, Bro!
"Udah, Dok."
Mas Iyo mengangguk-angguk paham, lantas menuju sudut VK. Basecamp tercinta kami. Matanya mengedar di meja besar yang dikelilingi 10 kursi. Kesan pertama ... SUPER BERANTAKAN! Chitato, saos botol, bakso bakar tusuk, seplastik nasi lele kremes belum sempat termakan, bungkusan ayam McD dan seplastik udang saos padang masih utuh, bertumpuk-tumpuk buku, kertas hand out, tabel partograf, rekam medis, laptop menyebar di sepanjang penjuru. Berbotol-botol air mineral, jus, teh kotak, dan banyak lagi. Haaa ... jangan lupakan mie lidi pedasku. Aku melipir. Langsung kuambil kilat dan menyembunyikannya di tangan yang kusilangkan di belakang.
Tidak ada lagi 5 Watt, atau 10 Watt. Kesadaran kami kembali penuh bagai matahari siang bolong menyilaukan. Bertambah gemetaran lantaran sorot mata itu seolah membunuh berjamaah.
"Beresin!! Jorok banget!!" perintahnya dingin.
WH duduk di bangku kami. Sendirian. Sedangkan kami berdiri bak kurcaci kecil.
"Udah saya bilang berkali-kali. Pasien itu liatin dokternya. Kalo kalian begini, meskipun di pojok, rasanya nggak etis! Saya tahu, kalian laper. Kan bisa gantian ke kantin satu-satu!"
'Ini pengganjal mata, Bapaqq!!' Ingin kubalas ocehannya ... tapi bohong. Aku beraninya dalam hati saja.
Kami pasrah diomelin. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Biasaaahhh ...!
Dokter Yudi, Dokter Nindya, aku, Sasi, Alana, dan Kamal langsung memunguti satu per satu barang kami. Residen hanya membeli air minum. Masih aman. Mereka pasti ketakutan. Sedangkan, bungkus Chitato ukuran besar itu milik Sasi. Jajanan sate-satean anak SD kesukaan Alana. Lele kremes amunisi kloter keduanya Kamal. Udang dan ayam McD punyaku. Para kurcaci junior kelaparan tanpa merasa punya dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...