36. Pria-pria di VK IGD

23.5K 2.9K 63
                                    

Angin kencang mengibarkan kerudung. Juga selimut yang kupakai untuk menutupi nyawa kecil di gendongan tangan.

Mas Iyo dan keempat Bapak Ibu yang kusayang, menangis tertunduk-tunduk di padang gersang. Berlutut di hadapan. Tungkaiku langsung lemas. Aku jatuh bersimpuh.

Mereka memakai baju seragam. Putih bersih. Amat menyilaukan mata. Seorang anak lelaki usia 2 tahun berdiri di ujung. Menatapku tajam. Mas Iyo tersedu-sedu sambil mengucap, "Jangan benci Mas! Jangan benci Mas!! Jangan pergi ...!!! Mas sayang kamu, Vein. Mas sayang ...!!!"

Aku menggeleng. Aku tidak pergi. Lututku bergeming di tempat. Tak sanggup bangkit untuk mendekat. Namun yang terjadi, seolah tubuh kami kian berjarak. Bayi yang sejak tadi mengoceh di pelukku, tiba-tiba menghilang. Berpindah ke tangan pria berkemeja luaran sama putih tapi tidak dikancing. Kemejanya berkibar oleh hembusan angin. Seiring tangisan bayi itu. Juga tawa canda anak lelaki yang turut menyambut bayiku. Tangan kecil bayi melambai-lambai ingin kugapai. Tak ada daya. Untuk menggerakkan tungkai pun rasanya aku bagai disemen kuat. 

"Jangan pergi dari kami! Jangan pergiii ...!! Kami butuh kamu, Sayang!!"

"Mbak Vein, maafin Ibu sama Bapak ..." juga Ibu yang merentangkan kedua tangan untuk menarikku tapi gagal.

Aku berteriak histeris. Menangis keras. Aku takkan pergi. Aku juga tidak mau kemana-mana. Mengapa dunia kami terbelah? Terpisah. Lalu ... menghilang. Mereka lenyap begitu saja ... tanpa bisa kuraih.

-------

Padang gersang berubah hening. Pendar cahaya menghilang. Aku terengah-engah dalam gelap. Kemudian kurasakan guncangan keras menggoyangkan bahuku.

"Sayang? Vein? Bangun! Bangun, Vein!!!"

Kubuka mata. Mas Iyo berikut wajah khawatirnya di sana. Dia ada di sekitarku. Tidak jauh-jauh. Kuedarkan pandangan sekilas. Kami masih berada di ruang terakhir aku terlelap. Ruang chief residen. 

Kukucek mata pedih. Kuatur ritme nafas yang tadi tak karuan. Tak terasa, bulir demi bulir berjatuhan. Bukannya normal, nafasku memberat. Tenggorokanku bagai dicekik. Aku menangis tergugu. Melihat ekspresi itu masih memindai senti demi senti wajahku. Juga tangan ramping yang selalu lihai kuamati di VK dan IBS, sedang mengusap punggungku hangat. Aku tidak kuat menahan kengerian barusan. Mimpi buruk kalau dia ... juga seluruh keluarga, akan meninggalkanku.

"Mas ... nggak boleh ninggalin aku! Jangan jahat lagi sama Vein ...!!" tangisku merangsek ke pelukannya.

Mimpi barusan tampak amat jelas dan nyata.

"Hei ...? Kamu mimpi buruk, Vein. Ini cuma mimpi buruk. Jangan dipikirin," katanya mengeratkan dekapan.

Aku mengangguk. Iya, mungkin baginya ini sekadar mimpi buruk. Namun, aku tidak akan sanggup mengalami mimpi yang sama untuk kedua kali. Kecuali ... jika kupersiapkan jauh-jauh hari kekuatanku untuk melawannya.

"Aku mau ketemu Mbak Adisty. Juga Galvin—" Mas Iyo langsung mengurai pelukan. Dia memandangku kaget, tak percaya. Aku menuruti sarannya beberapa waktu lalu.

Iya. Aku harus menghadapi seluruh kenyataan yang terlanjur terjadi dalam hidupnya. Karena kini, hidupnya adalah juga menyangkut aku dan calon anak kami. Tidak bisa lari terus-terusan. Suatu saat, pasti akan terungkap. Baik dalam keadaan siap atau tidak, benar atau salah, baik atau buruk. Jadi, mendingan aku persiapkan dari sekarang. Daripada makin sakit, saat justru mengetahui segala rahasianya dari orang lain di kemudian hari. 

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang