8. Hoodie Hitam

28K 3.4K 120
                                    

Aku kadang heran pada kebetulan. Ini dia sengaja yang mengikuti style-ku, atau kebetulan kami mengenakan pakaian senada? Aku juga memakai baju olahraga warna sama. Kerudungku saja yang coklat susu. Ternyata, warna-warna pilihan Bu Dina kemarin cantik semua.

Aku menoleh. Tidak mau kelamaan memaku kekaguman pada Dokter Heart.

"Mbak mau nyusul Kak Arter dulu. Kamu di sini ya, Va? Nih!" Kuserahkan dua botol kami di pangkuan Cava. "Giliran jagain minum Mbak."

Aku kabur menyusul Kak Arter sebelum Dokter Heart sampai. Kulirik dari sudut danau yang lain, mereka tertawa ringan bersama di bangku besi. Sampai terbahak-bahak. Entah apa yang Cava dan lelaki itu bicarakan, sampai keduanya tampak begitu bahagia.

Aku iri? Iya. Tentu saja. Kenapa Warty Heart bisa akrab bersama Cava, sedangkan denganku tidak bisa? Apa aku ini menjemukan?

"Nah, gitu dong. Lari. Biar lemak jahatnya rontok," tawa Kak Arter ketika kujajari.

Enak saja. Aku menyangkal. "Sembarangan! Gue nggak gendut, tauk! Mana ada lemaknya?" 

Olahraga meningkatkan endorfin. Pantas saja kalau rasa kesal, sebal mendapati Heart datang, sontak lenyap saat aku mulai mengeluarkan keringat dari gerak seluruh tubuh. Apalagi, ada ... hemm ...

"Lari bukan cuma buat orang diet aja, kan?"

Kuanggukkan kepala setuju.

Aku merasa Kak Arter mulai mengurangi kecepatannya, demi mengimbangiku.

Hari ini, dia tampan tanpa memakai kacamata. Hanya topi warna navy, celana olahraga panjang, juga kaos biru langit yang cukup basah oleh keringat di bagian punggung. Aku sedikit enggan berlari di belakangnya. Bukan karena takut bau keringat. Namun, aku tidak tahan melihat cetakan kotak itu. Astagfirullahal'adzim!! Mata!!

"Mau sarapan dimana, Vein?" tanyanya usai beberapa saat kami diam dalam lari.

"Pengin nasi uduk Mbok Parni. Tahu, kan? Tapi adik gue maunya buryam aja."

"Boleh deh. Ntar mampir buryam dulu, dibungkus, dimakan di Mbok Parninya. Kayaknya enak juga, nasi uduk."

"Kakak berapa puteran lagi?"

"Lima lagi ya? Lo nggak usah ngikutin kalo nggak kuat."

"Gue tiga aja deh. Empat kalo masih sanggup. Hehe .."

Bismillah! Aku akan bicara serius pada Kak Arter setelah sarapan. Biasanya, orang kenyang lebih mudah diajak berkompromi dibandingkan sedang lapar. Ini adalah alasan utama, mengapa aku kesal melihat Dokter Heart turut serta. Semoga dia juga tidak ikut-ikutan sarapan bersama kami. Lantas, mengacaukan.

---------------

Di putaran akhir, Cava dan Dokter Heart menyusul. Aku menengok, begitu kudengar berisik cekikikan yang amat kukenal, semakin mendekat. Kak Arter juga sempat memberi salam ringan pada Dokter Heart. "Olahraga juga Dok?"

"Iya. Udah dari tadi?"

"Lumayan, Dok. Udah kenalan sama Cava juga ya?"

"Bapak kami satu rumah sakit, Kak, by the way." Cava yang menjawab. Aku diam saja.

Kak Arter ber-oh ria. Aku tahu benar tentang kerutan di dahinya. Apalagi ketika dia mengangkat kedua alis, seperti bertanya padaku. "Gue ceritain nanti," balasku yang ditangkap oleh anggukan kepala.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang