34. Bangsal Obgyn

24.2K 2.9K 102
                                    

"Nggak boleh aneh-aneh yang bikin orang jadi lihatin kita."

"Aneh-aneh apa? Mas melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami."

"Tetap jadi Dokter Heart yang disegani. Nggak usah sok ikut nimbrung waktu Vein duduk di meja VK sama temen-temen koas, atau sama R1. Apalagi negur-negur yang bukan salah kami."

Mas Iyo tertawa, sampai perutnya dia pegangin. "Kenapa banyak banget syaratnya, Sayang?"

Kubuang pandangan. Tangan kusidekapkan. Menutupi perasaan yang mudah sekali meleleh. Astagfirullah! Ya Allah, kuatkan hati dari kata-kata sayangnya.

Iya. Syaratku banyak. Mendengar aduan Alana selama cuti, ternyata Mas Iyo banyak tingkah di bangsal. Tidak ada residen R1 dan R3 yang bisa duduk tentram. Mata bulatnya mengawasi tiap gerak-gerik yang berpotensi menunjukkan kemalasan para calon dokter dan dokter spesialis. Ribet banget. Semua diprotes. Ya, kurang gercep lah, megang kepala bayi masih ragu-ragu, boros kassa lah, boros benang, waktu jahit kelamaan, episiotomi kurang gentle, bius kurang mantap, pimpinan persalinan pada ibu kurang menghayati, galak sama pasien, dan ... masih panjang lagi.

Mengistirahatkan pantat rasanya juga tidak sempat. Apalagi, tidur. Alana dan teman-teman sampai ingin mengajukan protes pada staf. Mengembalikan Heart ke alam asalnya saja.

"Mas tetap jadi WH yang kalian benci kok. Yaa ... walaupun mata sinis, mulut pedes, masih aja kedengaran. Tapi, tenang. Mas nggak sakit hati. Udah kebal beberapa hari ini," lanjutnya mengubah kekehan menjadi senyum sendu. Ini dia beneran sedih atau sengaja balas dendam sama yang ngomongin dia?

"Nggak usah sok posesif. Kak Arter itu teman kami. Kalo kami jaga bareng, ya nggak usah tingkah aneh-aneh."

"Kamu juga istri Mas, Vein. Kamu sama Arteria jangan aneh-aneh."

"Aku nggak pernah aneh-aneh!"

"Termasuk diam-diam ke rumah Arteria tanpa izin?"

Kuhela nafas panjang. Iya, dia tahu dari Sasi, yang tidak sengaja keceplosan ketika jadi koas Obgyn dulu. Malam ketika lelaki itu sakit, lantaran cemburu padaku yang pergi tanpa izin ke rumah Kak Arter, aku mengakui segala dosa. Hati Mas Iyo baru melunak, setelah kuceritakan apa yang kulakukan di sana.

"Harus ya, kita ngungkit-ungkit masa lalu? Mau juga, aku ungkit apa aja kesalahan Mas?"

Dia tertawa garing, merasa bersalah, sambil bilang, "Nggak perlu. Terimakasih diingatkan. Mas juga cuma ngingetin."

Kuacak belibet bayangan tak kasat mata di hadapanku. Memikirkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. Tidak sanggup kuprediksi. Kami sekarang sedang sarapan gudeg kesukaannya. Tepat satu jam sebelum aku berangkat, sebuah mobil telah terparkir cantik di depan pagar. Mas Iyo menelepon agar aku bersiap lebih cepat. Dia rela menunggu di teras, pagi-pagi buta. Jadi santapan kesal civitas Samanhudi yang tinggal di kost Purnama. 

Kedua orang tua kami pulang tadi malam dari kost. Setelah memastikan aku nyaman menempati kamar baru. Juga menitipkanku pada Mas Iyo. Meninggalkan penasaran yang ingin kuungkap namun juga tak siap mendengarnya. Semudah, menceritakan tentang anak bernama Galvin pun, kuhentikan saat beliau sudah intro akan berkisah.

"Pokoknya, yaudah, kita kayak chief residen sama koas aja."

"Iya. Memang begitu, kan?"

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang