37. HUT RSUP Samanhudi

22.2K 2.8K 187
                                    

"Gimana sih, Sis? Namanya pohon, tepinya itu diliuk-liukin!" protes Sasi.

Sasi adalah mantan koas Obgyn yang didapuk sebagai penasehat sekaligus pengawas persiapan pentas Departemen Obgyn, menyambut HUT RSUP Samanhudi. Selingkuh banget, kan, ya, dia?

Aku, Alana, dan Gina kebagian membuat pola properti pada kertas karton. Kak Arter, Hasan, dan Ezhar tim memotong, menempelkan pada stereoform, sekaligus mewarnai. Maya dan Sapta masih berputar Depok Raya, mencari persewaan kostum baru yang cocok untuk para tokoh. Sedangkan, Arty bertahan di gua pertapaannya di ujung ruangan untuk menulis skenario.

Tema cerita berganti.

Dokter Aras dan tentu saja suamiku, juga 3 orang seangkatannya tidak ada waktu untuk bikin semacam drama yang harus 'ngomong'. Mereka mengaku tidak pandai menghafal. Pakai alasan faktor U pula. Alah-alaaahh ... alesan aja! Bilang aja, males! Dokter Nindya yang punya suara empuk bersama tone bariton berat Dokter Yudi, mendapat titah membacakan dialog. Hingga tokoh-tokoh di panggung tinggal berakting sesuai yang dibacakan. Tema punakawan pun berganti jadi cerita rakyat. Timun Mas. 

"Gue mau bikin cemara aja deh."

Aku menyerah. Ini lebih sulit dibandingkan menyajikan bahan-bahan jurnal untuk refrat. Cemara lebih lurus, tinggal pakai penggaris. Sedangkan pohon, sejak tadi Sasi komentar pohonku terlalu kotak.

"Kalo cemara agak susah. Nggak ada ranting ke samping. Kita kan butuh buat kamuflase tangannya Dokter Aras!" Sasi berdiri berkacak pinggang mengawasi kerjaku. 

"Sini! Gue aja."

Tanpa kusadari, Kak Arter merebut pola di lantai depanku. Aku masih bengong, sedangkan dia mulai menghapus coretanku tadi, diubah menjadi meliuk-liuk. Sigap dia menggunting mengikuti pola baru.

"Gampang begini. Mending fokus deh. Kalo fokus, bikin apa aja bisa kok. Lo anak FK, Vein!" candanya.

Aku melihat pada Sasi. Dia geleng-geleng dengan mata melotot sarat kejahilan padaku.

"Dih! Bawa-bawa FK dia, kawan-kawan!"

"Iya dong. Udah nggak masanya pentium-pentium processor lagi. Kita ini udah android yang apa-apa bisa manfaatin jempol pake handphone buat apa aja."

"Kok berat ya, bahasannya?"

Aku mendebat tidak terima. Ya, masa otak Androidku nggak bisa dipakai buat pola pohon yang keren. Kak Arter justru terbahak.

"Nih!" Dia menyerahkan karton baru. "Lo bikin gunung. Bolehlah pake penggaris. Sudut 45 derajat."

Aku memberengut tapi tetap bilang, "Siap, Bos!"

Inilah keadaan kami sekarang. Aku dan Kak Arter tanpa sadar, berubah jadi lo-gue lagi. Tanpa tahu siapa yang mulai duluan, suasana pertemanan kami jungkir balik ke level pertemanan biasa lagi. Dari seringnya aku menghindar, dia menyibukkan diri bersama jadwalnya yang aku tidak tahu lagi seperti apa, juga lingkungan persahabatannya yang kini lebih dekat Ezhar. Kami masih berinteraksi tapi minimal sekali. Kecuali, dipaksa bersama dalam satu momen begini.

"Stase lo emang nggak sibuk, ya, Sas? Nggak dibilang pengkhianat nih sama temen-temen THT lo?" tanya Gina yang sedang mewarnai kotak kardus jadi mentimun raksasa.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang