45. Ultraman Apin

19.3K 2.5K 69
                                    

Semua orang menunduk hormat ketika kami lewat di lantai 4 gedung belakang, khusus administrasi rumah sakit. Mereka menyapa, "Pak Heart, Bu Vein ..." Begitu. Berkali-kali.

Aku baru sadar ketika masuk ruangan, satu foto besar di tengah dinding itu, kurasa jadi akar penyebab kenapa mereka sudah mengenalku. Potret keluarga di masjid Rumah Sakit Harapan Keluarga saat itu. Ketika kami menikah. Memakai baju putih seragam dengan senyum yang baru kusadari, hanya aku yang memiliki tarikan bibir paling jelek karena masih menahan mewek. Tidak menggambarkan bahagia sama sekali.

"Akunya jelek banget di foto."

"Enggak kok. Bagus."

"Kapan-kapan foto ulang dong, Mas. Jangan yang ini."

"With my pleasure," jawabnya dalam tawa renyah.

Arsenio Heart nggak kerasukan, kan? Dari kemarin cengingas-cengingis terus yang bikin aku merasa dia bukan dia. Kewibawaan dengan gaya parlentenya hilang. Sesuka hati dia ke rumah sakit sebatas pakai kaos polo putih berkerah dan celana denim navy. Lebih mirip-mirip anak kuliahan semester akhir dibandingkan yang kupikir CEO tamvan idaman para karyawan.

------

Cukup lama kami di Permata Hati. Mas Iyo mengumpulkan beberapa kepala divisi manajemen rumah sakit untuk berkenalan denganku. Untung mereka tidak menyodori laporan tahunan atau perkembangan Permata Hati yang bakal bikin aku blank tidak tahu sama sekali harus ngapain.

Setelah perkenalan satu-satu, baru Mas Iyo mempersilahkan Mas Nana masuk. Menjelaskan padaku terutama, apa statusku di sini. Hebatnya, aku dan Cava adalah pemegang persentase kepemilikan terbesar Permata Hati. Wow sekali memang. Bagai kejatuhan durian runtuh. Enak tapi bikin pusing.

"Mengerti?"

"Enggak." Aku menggeleng sambil meringis kuda. "Udah. Aku nggak mau ngambil ini semua. Cuma mungkin boleh kali, ya, aku nepotisme nanti kalau lulus terus nggak diterima dimanapun, aku minta tolong lamaran kerjaku di sini diterima?" candaku. Mas Iyo terbahak memegangi perutnya. Duh! Kok bisa sih ada cowok seganteng ini yang mau sama aku?

"Yaudah. Diterima. Diterima." Tangannya mengusap kerudungku. Kami bersebelahan dalam satu sofa panjang, sedangkan Mas Nana duduk di seberang. Dia ternyata lulusan managemen rumah sakit. Pantesss!
"Oke, kamu atur aja seperti biasanya ya, Na. Nanti sambil jalan, saya ajarkan ke Bu Vein tentang pengelolaannya."

Mas Nana mengangguk. Pun, aku. Nurut aja lah. Mana ngerti beginian.

"Oiya. Sekalian bantu uruskan rekening Bu Vein-nya ya? Bulan depan, udah bisa masuk ke rekening Ibu sendiri."

Kadang, aku merasa Mas Iyo ini sungguh manis dan pintar sekali mengolah kalimat yang keluar dari mulutnya. Bukan seperti aku yang asal memuntahkan apa yang mau kubilang. Aku merasa amat dihargai ketika dia menyebutku Bu Vein di depan Mas Nana. Padahal, tahu sendiri. Aku ini koas kinyis-kinyis berantakan, banyak makan yang sukanya cuma cari bantal di kamar koas pada jam-jam bisa kabur istirahat.

"Baik, Pak. Mungkin saya tinggal butuh tambahan NPWP, buku tabungan Ibu. Setelah saya copy, nanti bisa saya kembalikan sekalian berkas buku nikahnya." Mas Nana menutup laptop. Juga mengumpulkan kembali berkas-berkas yang tadi dia sebar di atas meja sofa. "Kalau tidak ada instruksi lagi, saya izin undur diri." Baru saja berdiri, tiba-tiba lelaki berambut keriting ini menjentikkan jari sebelum menunduk hormat. "Oiya, sekali lagi. Selamat untuk Bapak dan Ibu. Semoga langgeng. Saya harap pertengkaran di mobil kemarin itu yang terakhir ya, aamiinn."

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang