7. Danau Kampus

28.8K 3.6K 138
                                    

Aku ini tidak sedang merayakan ulang tahun. Namun, kenapa banyak sekali kejutan yang bikin jantungku mau lepas? Padahal, ini baru terhitung sehari, semenjak tamu kami datang.

Kunjungan orang tua ke Depok ini, sungguh mempercepat milestone kehidupan dewasaku ke agenda yang tak pernah disangka-sangka.

Tahu milestone, kan? Proyeksi tolak ukur waktu untuk sebuah perencanaan. Ada titik-titik besar dari segaris panjang perjalanan suatu alur. Baik kehidupan atau rencana jangka panjang, yang butuh step by step untuk menggapainya.

Aku telah mencanangkan ide, akan mengajak bicara empat mata Kak Arter pada hari Minggu. Ah, enam mata jika Alana jadi menemani. Akan kuberi waktu selama seminggu untuk Kak Arter memikirkan semuanya. Selama maksimal tiga minggu selanjutnya, jika dia setuju, aku akan meminta tolong Ilham—mantan ketua Rohis angkatanku— atau entah siapapun teman alim angkatannya, untuk membimbing lebih jauh lagi. Jadi, bulan depan, Bapak Jaelani sudah bisa berjumpa calon menantunya. Enak sekali, ya, aku bicara? Hemm ...

Lalu, sekarang?

"Mbak Ratih, gimana kalau minggu depan saja lamarannya? Saya lebih tenang kalau Nak Vein dan Iyo udah halal, Mbak. Apalagi mereka udah sama-sama dekat dan kenal. Menghindari godaan setan."

Detak jantungku berhenti sesaat. Buyar semuanya.

Godaan syaiton dari mana? Aduh ...!
Kenal dan dekat?
Interaksi kami bahkan masih dapat dihitung jari.

"Wah, saya sih setuju-setuju aja. InsyaAllah, Bapaknya anak-anak semoga juga setuju ya?" jawab Ibu dengan mata berbinar-binar. Tatapan beliau langsung menoleh padaku di bangku sebelah. "Gimana Mbak? Ini demi kebaikan kalian." Tangan lembut Ibu turut merayu melalui usapan di punggung.

Tatapanku beku, penuh siratan pada Dokter Heart. Aku tidak tahu dia menangkapnya seperti apa. Yang pasti, aku sedang meminta tolong. Dia juga sama tidak berkutiknya. Kurasa, kami sama-sama syok.

Aku menunduk.

Kuurut kening sekeras mungkin. Mencoba menata kembali kacau-balau milestone-ku di kepala. Hidangan makan malam lezat restoran bergengsi area Jaksel tidak menarik lagi untuk disantap.

Mendadak, aku teringat satu ganjalan ampuh namun beresiko tinggi. Tidak ada yang mampu kupikirkan lagi selain ini. Seharusnya, aku mempertimbangkan hati dan keputusan Dokter Heart. Semestinya, ini bukan urusanku dari awal. Tak sepatutnya, aku mengutarakan. Namun ...

"Maaf, Bu. Bukannya Mas Iyo udah punya seseorang?" Semua orang tercenung. Termasuk Cava yang sejak tadi cekikikan, asyik sendiri dengan handphonenya, kini mengangkat kepala untuk mendengarkanku. "Ngapunten, kalau ini kurang sopan. Tapi Vein takutnya ada yang keberatan sama perjodohan ini. Mungkin, Mas Iyo sedang berusaha dalam masa pendekatan atau gimana, saya nggak mau—"

"Siapa?" potong Dokter Heart seketika. Kulihat wajahnya yang sejak tadi santai, berubah tegang. Rahangnya mengeras. Auranya menyeramkan, meski terdengar lirih nan berat.

Aku menunduk. Aku takut menghadapi meja bundar ini. Kini, justru dirikulah yang jadi mengacaukan semuanya, setelah rencanaku sendiri acak-acakan.

"Umm ... Mbak Adisty ... itu ..." cicitku tertahan.

Soal Adisty, sumpah, ini adalah kerandomanku karena tak menemukan apa-apa yang bisa kuulik tentang Dokter Heart. Sejak menemukan perempuan itu dirawat, aku kehilangan jejak. Dia dimasukkan sebagai pasien Kencana.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang