43. Dari Balik Jendela

18.9K 2.5K 92
                                    

Aku dan Mas Iyo tiba di Magelang setelah Isya. Meredakan tangis dulu. Dia pakai mencarikanku minuman hangat demi mengurangi sesengukan yang tak kunjung hilang. Juga macet di tiap lampu merah yang kami lewati. Aku tertidur di sisa perjalanan. Terbangun dengan kepala berapa di pangkuan Mas Iyo, juga usapan lembut yang membuatku akhirnya membuka mata. Tidak sadar sekaligus tidak tahu kapan posisiku berubah begini. Yang kuingat, terakhir aku menangis sambil memandangi jalanan dari balik kaca mobil.

Kukerjap mata perlahan.

Kudapati kaos putih Mas Iyo yang masih wangi. Rasanya ingin menangis. Aku rindu amat ... sangat ... sangat pada lelaki sarat rahasia ini. Mengapa orang sebaik dia bisa menyembunyikan banyak hal dariku. Aku masih menerima suamiku adalah seorang calon dokter Obgyn. Aku maklum, kelak dia mungkin hanya akan memiliki sedikit waktu bersama keluarga. Aku terima dia menolong ibu-ibu yang bikin aku cemburu. Kumaafkan dirinya yang memiliki mantan istri dan seorang Galvin. Tapi ... Kutahan tenggorokan yang lagi-lagi tercekat. Tidak sanggup melanjutkan.

"Udah sampai."

Aku bangun lalu membenarkan kerudung. Membuang pandang agar dia tidak usah melihatku lemah lagi. Ternyata Pakde Singgih dan Mas Nana sudah menghilang dari bangkunya. Kami ditinggal dalam keadaan mesin masih menyala, juga AC berhembus.

"Makasih. Maaf. Aku nggak sadar. Badanku—"

"Nggak papa," jawab Mas Iyo yang langsung keluar lebih dulu, padahal aku belum selesai bicara. Juga ... belum minta maaf ... telah menamparnya.

Bapak Ibu dan Cava menyambut kami. Muka Ibu muram. Begitu kami berpelukan, suara Ibu bergetar mengucap turut bela sungkawa. Memberi doa terbaik untuk anakku, aku dan Mas Iyo. Beserta satu harap, semoga Allah mengamanahi kami lagi secepatnya.

Bapak langsung merangkul Mas Iyo untuk duduk di sofa ruang tamu. Bahasan topik pertama adalah tentang bagaimana penerbangan kami. Aku mengaku lelah. Alasan paling logis dan manjur untuk kabur ke kamar atas tanpa basa-basi.

Sedangkan Cava, anak itu tumben tidak meminta oleh-oleh dariku. Lagipula, apa sih yang diharapkan dari pasien baru keluar rumah sakit? Walaupun tidak mengharap, tetap kubagikan uang jajan 200 ribu. Senyumnya terkembang lalu memelukku erat di depan kamar. 

"Mbak Pin emang paling cantik. Makin cantik lagi kalau senyum. Ponakanku juga pasti mau Ibunya senyum, kan?" pujinya yang membuatku malah banjir air mata.

-------

Tidak ada yang berubah dari kamar lama. Tetap begini sejak kutinggalkan berangkat kuliah S1. Sengaja kupertahankan. Cat warna biru dengan wallpaper motif ombak rendah. Tirai putih, furniture serba putih, lampu meja dengan tempelan stiker ikan-ikan, aroma kamar yang selalu kurindukan. Kurebahkan langsung tubuh lelah ini ke atas empuknya springbed.

Kuhela nafas .... panjaaangg sekaliii. Menatap nyalang atap berornamen motif kayu. Juga pancaran lampu yang begitu menyilaukan. 

Aku mau kembali ke masa 4 tahun lalu lagi. Dimana tidak ada Mas Iyo bersama segala kerumitannya.

Sempat kubenahi isi koper kami. Memisahkan bajuku dari baju-bajunya. Siapa tahu Mas Iyo ingin langsung pulang. Ibu masuk untuk menawari makan malam namun kutolak. Aku masih kenyang terakhir makan di bandara. 

"Kalau kamu nggak makan, minimal temani suamimu makan, Mbak. Kasihan Mas Iyo."

"Dia udah besar, Bu."

"Iya. Mbak juga udah besar. Tapi sekarang Mbak istrinya. Bakti istri ke suami itu pahalanya besar. Meski semudah menemani makan."

"Mas Iyo bohong sama Vein, Bu." Akhirnya, aku tidak sanggup untuk menyimpan sendiri. "Dia bilang punya saudara kembar."

Ibu langsung mengubah usapan dari balik punggungku di kasur menjadi memelukku. Suara beliau lirih di belakang telingaku. "Iyo udah cerita? Semoga Mbak Vein memaafkan kami. Mbak boleh tanya sebanyak-banyaknya sama Ibu, Bapak atau Mas Iyo. Tapi jangan ke Dek Cava. Dia nggak tahu apa-apa."

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang