"Vein?"
"Ya?"
"Maaf, aku belum bisa ketemuan langsung sama kamu."
Hatiku berdesir saat dia mendadak memanggilku menggunakan aku-kamu melalui sambungan telepon. Kak Arter tak lagi membalas pesanku, dan malah menelepon langsung. Namun, entah mengapa, debaran tidak nyaman justru yang terasa mengusik di dada. Firasatku mengatakannya.
"Kamu masih demam? Kakinya makin bengkak nggak?"
"Masih dua-duanya, hehe.." ringisku memecah suasana canggung.
"Maaf, aku telepon. Aku nggak bisa balesin WhatsApp kamu barusan. Aku mau kamu denger langsung, tapi jelas nggak mungkin, karena ini udah jam 11 malem. Dan aku yakin, besok nggak akan bisa fokus ujian, kalau aku tunda."
"Iya, Kak. A—aku yang minta maaf, nggak seharusnya aku kirim pesan begitu," cicitku lirih. Agak canggung saat harus mengubah sebutan untuk Kak Arter. Padahal di Magelang, aku terbiasa aku-kamu pada seluruh teman.
"Jangan tersinggung ya, Vein? Aku nggak akan minta kamu respon apapun. Karena aku tahu, kita masih beda keyakinan dan itu mustahil buat kita." Kudengar helaan nafas panjang di seberang telepon. Aku paham benar apa maksud 'kita' barusan. Jantungku bertalu tak karuan. Meskipun tidak melihat secara langsung, namun aku bisa merasakan getar suaranya. "Kita udah bukan anak SMA kemarin sore lagi, yang harus nembak biar tahu kalau aku peduli sama kamu. Aku harap kamu ngerti perhatianku sejauh ini. Udah lama, Vein. Sejak kamu baik banget di stase kita ketemu pertama. Kamu nggak pernah bedain perlakuanmu ke aku yang Chinese juga beda agama ini. Sama seperti lainnya. Lalu, dari caramu mulai ngenalin aku ke Islam dari sisi yang beda. Bukan dari dakwah yang bikin aku jadi kayak pendosa, tapi justru bikin aku malah mau belajar lebih jauh."
Aku menangis di sudut single springbed-ku, bertutupkan selimut. Perutku mulai tidak nyaman, namun masih kuat untuk sekadar terguncang oleh sesenggukan.
"Doain ya? Aku akan terus belajar sampai suatu saat, akan bisa berdiri di depan kamu dan di situ Vein yakin, kita nggak akan terhalang apapun lagi. Masih mau bantuin aku, kan?"
Aku mengangguk tanpa bicara apapun. Karena kalau aku terlepas bilang "iya", takut menjanjikan apa yang belum bisa kupastikan.
Ingin aku bertanya, "sampai kapan?" Namun kutahan. Akan makin terlihat egois jika aku mempertahankannya.
Lamakah?
Cepatkah?
Apakah kurang dari satu bulan?
Sekali lagi hidayah Allah takkan ada yang tahu Allah akan berikan pada hati siapa. Juga satu hal yang tidak bisa kuotak-atik lagi, kecuali dari doa-doa di sepanjang malamku. Takdir."Dah, kamu tidur. Kuusahain lusa mungkin baru bisa nengokin lagi. Tadi pagi aku ke sana, tapi kata Sasi, cowok nggak boleh masuk. Ditambah lagi kamu tidur. Yaudah, nggak papa ya? Yang penting buryamnya sampai, kan?"
Aku terkekeh sendu. "Sampai, Kak. Enak."
"Aku tutup ya? Doain juga ujianku besok lancar, nggak pake grogi."
Aku tertawa lirih sambil mengiyakan. Menahan nyeri yang bertambah kalau badanku bergerak.
"Get well soon, Vein. Berdoa, jangan lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...