2. Gado-gado Mas Bagus

43.9K 3.9K 116
                                    

"Mas, tiga ya. Lengkap pakai telur sama lontong. Yang dua pedes banget, yang satu sedang aja."

"Siap Mbak. Ditunggu ya? Ada lima antrian lagi." Mas Bagus menjawab ramah. Tangannya lihai menakar bumbu-bumbu di atas cobek raksasa. Aku mengamatinya beraksi beberapa detik dan berhasil menggugah selera makanku.

Koas harus makan banyak. Apalagi budak stase seperti kami. Alana bisa saja lolos dari jobdesk mendorong brankar dan mengambil darah. Pekerjaan paling berat. Butuh konsentrasi pula. Namun, hanya selama ia di Cardiology. Alana belum memasuki stase neraka, dimana kami akan diasah menyetir roda brankar dalam keadaan buru-buru tapi berhasil lolos dari tabrakan tiang. Tak lupa mahir memarkirkannya dalam lift tanpa lecet.

Koas jaga di Saraf, Obgyn, Penyakit Dalam dan Anestesi juga haruslah fasih menemukan mana pembuluh darah di balik kulit dan mengisapnya untuk ditampung ke spuit. Aku masih suka. Tidak sukanya adalah, kami harus mengitari rumah sakit setelahnya, karena bagian pengumpulan darah Patologi Klinik ada di lantai tiga ujung gedung. Menyebalkan memang! Kenapa tidak di tengah gedung saja sih?!

"Vein, sini! Udah gue pesenin es teh. Nggak perlu pesen lagi."

Alana berteriak dari bangku kayu memanjang menempel dinding yang muat sampai 3-4 manusia. Meja itu penuh orang. Tersisa satu tempat untukku di ujung samping Alana. Kak Arter duduk di seberang meja tepat di depan posisi yang nanti akan kutempati. Berbagi dengan seorang pria berkemeja merah muda dan satu lagi lelaki berseragam perawat. Warung ini sesak oleh pegawai rumah sakit alih-alih orang awam penunggu pasien. Walaupun kami telah melepas jas putih, wajah-wajah familiar teman sejawat mudah terdeteksi.

Aku berjalan santai mendekat. Mendaratkan pantat tanpa beban setelah meletakkan tas ransel di bawah kaki. Baru setelahnya, tenggorokanku tercekat dengan sendirinya. Pria yang duduk di samping Kak Arter ternyata adalah Dokter Heart. Menikmati gado-gado yang tinggal setengahnya dalam diam. Lengan merah mudanya telah digulung sampai siku. Ia menarik tisu untuk mengusap banjir peluh lantaran kepedasan. Lalu menyesap air mineral dinginnya dengan jakun naik turun.

Aku ... diam ... saja.

Menunduk lebih baik. Aku akan menyapa dengan menganggukan kepala nanti saja kalau mata kami bersitatap. Tidak mau mengganggu acara makannya, apalagi bersikap sok kenal sok dekat seperti perawat senior di sisi Alana satunya. Aku sedikit surprise mendapatinya duduk di sini. Berbulan-bulan berlangganan gado-gado Mas Bagus, kami tidak pernah sekalipun bertemu Dokter Heart. Biasanya hanya residen tahun pertama dan kedua. Itupun mereka tidak makan di tempat. Membeli banyak sekalian, yang mungkin juga, membelikan senior-senior mereka seperti Dokter Heart ini. Hierarki tak kasat mata itu masih berlaku. Berganti nama menjadi 'menghormati kakak residen senior.'

Jujur, sejak Ibu mencetuskan namanya ke permukaan, aku belum bertemu Dokter Heart lagi secara berpapasan di lorong rumah sakit. Jangankan, berkenalan ulang. Terakhir kami berfoto bersama adalah ketika pertemuan PERKI di Malang. Bapak kami yang sama-sama sejawat Cardiologist di Magelang, mendapat undangan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Mereka mengajak kami sekeluarga untuk sekalian berlibur setelahnya. Waktu itu aku berumur 7 tahun dan Dokter Heart 13 tahun. Wajar kalau sekarang rasanya aneh jika hubungan kami dianggap sebagai kenalan. Apalagi, calon tunangan.

Aku meminta waktu lebih banyak pada orang tua untuk berpikir. Tidak main-main. Aku menawar enam bulan. Namun, Bapak hanya memberi keringanan dua bulan saja. Mencari calon potensial yang kusukai demi menggantikan posisi Dokter Heart. Bapak Ibu bukan orang saklek. Mereka akan mengetes lagi siapapun nanti lelaki yang kuperkenalkan sebagai calon menantu. Jika lolos, Bapak Ibu tidak akan melanjutkan perjodohan kami.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang