22. Judul yang Tak Perlu Diumbar

34.3K 4.4K 351
                                    

Aku punya niat menulis sub judul kontrasepsi untuk bab ini. Namun, itu terlalu memalukan. Hahhh!! Aku akan terus menyesali kebegoanku jika membacanya. Sekarang saja, aku mulai merasakan gejala depresi ringan. Menjambak-jambak kerudung sendiri, mencakar-cakar bohongan muka—aku masih sayang skincare-ku jadi tipu-tipu saja—, juga memukul-mukul lengan si Warty Heart tanpa ampun sedari pagi. Ingin marah, bercampur super gondok memikirkannya! Baru juga semalaman, membaca materi hormon reproduksi dan cara kerja kontrasepsi, pagi ini aku harus kelimpungan menyusun rencana mencari jenis-jenisnya di apotek.

"Bagusan mana? Pil KB, suntik sebulan, 3 bulan, IUD, implant?" tanyaku sambil masih menghitung kalender di handphone

Mas Iyo menggeleng pelan. "Nggak ada yang bagus."

Sialnya! Tanggal-tanggal belakangan ini adalah masa terbaik bercocok tanam. "Arrggghh!" teriakku lagi di dalam mobil.

"Jangan gila, Vein." Suara dia terdengar tenang bagai air danau. Aku makin stres.

"Aku gilaaa ...!! Bego! Bego! Bego!" Dia juga gila! 

"Lagian apa masalahnya, sih, kalau hamil? Ada suaminya ini." Kalau tidak durhaka, aku ingin meluluhlantakkan tatanan rambut, yang katanya eye-catching tapi nampak bagai limbah pabrik di pandanganku itu. "Bukannya ada perintah agama untuk memperbanyak umat Rasulullah SAW?"

"Ya, tapi nggak sekarang juga kaliiik!! Aku belum masuk Interna, Obgyn belum ada sebulan, Anestesi berdiri terus juga belum. Masih banyak banget aku belum masukin, sama stase luar kota juga, Bapaaaqqq Dokteerrr!!!" teriakku tepat di depan kupingnya biar dia pengang sekalian. "Apotek!" tunjukku ketika sekelebat menangkap sebuah apotek di kiri jalan. "Stop! Stop! Stop!"

Aku akan sujud syukur kalau dia mau berhenti. Nyatanya, roda mobil terus berputar tanpa berkurang kecepatan sekalipun.

"Aku juga masih nikah siri!!" Lagi-lagi, aku menangis bagai bayi raksasa di dalam mobil. Kututup mukaku. "Apa kata orang nanti?"

Mas Iyo akhirnya menepikan mobilnya, usai menghela nafas panjang. Aku celingukan mencari tahu dimana kami, sebelum dia pelan-pelan menghapus air mataku memakai ibu jarinya.

"Kita pulang Magelang 3 minggu lagi, oke? Setelah Mas selesai stase di Garut. Sekitar 11-15 Juli kita nikah KUA. Udah lengkap kok berkasnya." Dia juga membenarkan kerudungku yang pasti sudah acak-acakan. "Nah, selama seminggu ini, sebelum berangkat, gimana caranya, kita mulai buka hubungan kita ke teman-teman kamu. Biar mereka juga nggak kaget. Kamu masih nggak mau Sasi marah kan?"

Aku mengangguk.

"Oke. Sekarang biar cantik lagi, berhenti marah-marahnya. Bentar lagi udah mau nyampe kost." Aku melengos menatap kaca jendela.

Semudah itu dia meluluhkanku.

--------

Terang saja aku kaget, ngomel-ngomel parah, juga menyesal. Perpaduan sempurna gejolak kawula muda, rasa penasaran, cuaca sendu-sendu kelam, juga bisikan malaikat, menggoda habis-habisan. Seharusnya si Warty Heart yang mengerem. Dia sudah tak muda lagi. Aku kira Mas Iyo lelaki bijaksana, dewasa, dan memperhitungkan matang-matang segalanya sebelum bertindak. Ternyata ... zonk.

Aku berjalan menyusuri koridor poli di sayap gedung B. Persetan apa yang kubaca dan pelajari hari ini. Aku masih berusaha di titik terbimbangku untuk mencari apotek poliklinik Samanhudi. Di Samanhudi sendiri, ada sekitar 5 apotek tersebar di seluruh penjuru 5 gedung. Dari apotek khusus BPJS, umum, rawat jalan, rawat inap, hingga VIP.

Suasana di poli masih cukup ramai di siang bolong begini. Meskipun telah memakai AC sentral yang seharusnya dingin, tapi entah kenapa aku merasa otakku mendidih sejak tadi sampai seluruh badan terasa tidak enak juga.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang