15. Morning Circle

31.5K 3.8K 149
                                    

"Belum juga dapet jadwal jaga, Pin, muka lo udah kayak zombie aja."

Alana menyenggol lenganku sambil senyam-senyum. Kami berjalan beringinan di gang sebelah rumah sakit. Aku berangkat dari kost. Semua baju dinas, alias jas koas, juga baju scrub jaga ada di tempat tinggal lamaku itu.

"Aaah, jangan-jangan ... semaleman lo begadang ya? Aaa ... cwit bangeet ...!" tambahnya dengan mata berbinar.

Aku menjulurkan lidah sambil terbahak. "Begadang pale lo!"

"Dih, Pipin! Mulutnya makin pengin dijahit ya? Baru juga abis ni—"

Kubekap buru-buru mulut Alana. Sambil celingukan ke sekeliling. Untung tidak ada koas yang jalan bersama kami. 

"Na? Please, kalo ngomong jangan keras-keras."

"Oke, oke," jahilnya. "Tapi gue penasaran hidup penganten baru gimana sih?"

Kuceritakan detail dua hariku bersama Mas Iyo. Alana mendengarkan seksama sampai kami tidak sadar telah menginjakkan kaki di halaman samping rumah sakit.

Mas Iyo benar menderita insomnia. Aku menunggunya, bahkan sampai jam sebelas, dia tak kunjung masuk kamar. Bukan menanti untuk bobok sayang-sayangan. Namun, ingin memperjelas kesepakatan soal janjinya padaku bahwa tidak akan ada skinship berlebihan. Bukan apa. Aku takut dia mengingkarinya juga. Hatiku belum plong menerima Mas Iyo dan status baru kami ini.

Lama-lama, mataku tidak sanggup. Aku tidur. Baru ketika kebelet pipis di pukul tiga pagi, lelaki itu telah ada di sampingku. Tidur terlentang, tangan bersidekap di atas perut, persis mayat hidup. Kakinya tertutup selimut yang sama dengan yang kupakai. Buru-buru, kupasang guling sebagai pembatas kami. Bukan hanya karena takut suami melewati batas, tapi pose tidurku kadang ngalah-ngalahin atlet pencak silat kalau sedang kelelahan. Jadilah, bobok semalam tidak bisa senyenyak biasanya. Malam kedua harus menjaga sikap posisi tidur yang cantik sebagai wanita Jawa berbudi luhur nan lemah-lembut.

Pagi hari, drama rumah tangga kembali terjadi. Aku, atau lebih tepatnya kami, terlambat bangun di pukul empat. Aku sudah mewanti-wanti sejak awal, aku mau pulang kost dulu saat Subuh, agar orang-orang tidak perlu memergokiku keluar dari mobil Mas Iyo. Dia mandi lama, aku mandi bebek. Kami Subuhan bersama, lalu capcus berangkat. Di pinggir jalan, Mas Iyo berhenti, membeli bubur ayam. Dia pengin makan di sana, aku maunya dibawa pulang. Jadilah, kami makan sendiri-sendiri. Mas Iyo di kamar jaga residen, sedangkan aku di kost. Belum termasuk marah-marahnya di mobil ketika kehilangan cincin kawin yang seharusnya kukenakan di jari manis.

Pria berbaju kemeja rapi dengan dasi itu baru bernafas lega setelah kutunjukkan kalung di leherku. Kupasang sebagai liontin. "Di sini," tunjukku kala itu, sembari menelisik ekspresi gondoknya. "Bukannya saya malu nggak mau pakai cincin. Tapi dari dulu, kebiasaan nggak suka pakai di jari. Kayak ngeganjel kalau mau ngapa-ngapain. Nggak papa, ya?" kerlingku untuk pertama kali pada Mas Iyo. Biar ngambeknya yang seperti bocah itu sembuh. Mas Iyo mengangguk, lalu membuang pandangan ke spion. Namun, aku yakin. Ada senyum kecil terbit di sana.

"Buset!! Drama banget sih kalian berdua, Pin!" tawanya puas. "Gue kira bakal ada uwu-uwunya. Nggak tahunya ..."

"Siapa yang uwu?" Aku terlonjak. Sasi muncul tiba-tiba, langsung merangkul kami berdua di posisi tengah.

"Uwu? U—ahhh, itu, itu! Si drakor barunya Alana ..." kilahku terpatah-patah menemukan alasan.

"Sejak kapan lo jadi candu drakor, Sis?" telisik Sasi. Dia seperti sedang menempelkan lem pada badanku dan Alana, sehingga jalan kami bertiga menutupi akses orang-orang yang mau lewat lebih dulu. Persahabatan kami terjadi sejak tahun ketiga kuliah. Ketika sama-sama akhirnya memutuskan pindah ke kost Purnama. Sebelumnya, hanya selayaknya teman biasa. Sekarang bak lem alteco. Kemana-mana bareng.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang