"Bisa jadi mau ngejelasin semua yang dia omongin ke lo kemarin malem."
Alana masuk setelah kubuka pintu kamar lebih lebar lagi. Dia duduk di ranjangku setelah bilang, "Berantakan banget sih, Pin, kamar lo."
Mana sempat aku memikirkan kondisi sekitar, sedangkan otak saja berserakan. Pikiranku bercabang kemana-mana. Apalagi, setelah menunggu Heart sama sekali tidak bilang, 'Enggak, ini nggak benar," di momen kami bertemu meski hanya sekejap saja tadi malam. Mauku, dia bilang begitu. Urusan aku percaya atau tidak, seenggaknya hatiku merasa lebih tentram. Nyatanya, dia bungkam. Seolah mengiyakan.
"Gimana kalo beneran?" cicitku.
"Gue tadi dengernya sih, Kak Arter mau minta maaf."
"Jadi semua nggak benar?" tanyaku mendesak Alana. Dia justru menaikkan kedua bahu, tidak tahu-menahu.
"Karena dia udah nyakitin lo di depan umum. Sekarang orang-orang jadi tahu semua tentang isi rumah tangga lo, Pin. Ya ... walaupun aslinya anak-anak juga cuma bisik-bisik. Arty yang bilang. Gue udah minta-minta banget mereka yang semalem lihat, buat tutup mulut. Tapi, you know-lah, kayak begini ini nggak bisa disembunyiin lama-lama." Alana mencengkeram dua bahuku penuh kuat agar menghadapnya. Memperhatikannya. "Yakin aja, Pin. Gosip begini emang bakal kenceng banget anginnya. Tapi juga lama-lama ilang nggak berbekas. All you can do is just stand up stronger. Through these all!"
"Gue bisa nggak ya, Na?" jawabku ragu.
Alana menepuk lututku keras. "Bisak! Lo kan anaknya Bapak Jaelani," candanya mengulang mantra yang sering kupakai jika seolah kemustahilan nampak di depan mata. "Lo ini manusia ciptakan Allah yang paling sempurna. Ada Allah ini. Tenang aja."
Air mataku menggenang lalu luruh begitu saja di atas stereoform bubur yang telah terbuka di pangkuan. Semoga kuahnya nggak tambah asin. Aku terharu. Iya. Aku anak Bapak Jaelani. Aku hambanya Allah. Aku sahabatnya Alana yang baik hati. Aku masih punya banyak hal yang bisa kujadikan pegangan selagi badai puting beliung ini berusaha memporak-porandakan ketahananku.
"Dah makan. Keburu dingin."
------------
"Kak Arter dengar dari siapa? Kak Arter tahu kan, fitnah lebih kejam dari pembunuhan."
Aku mengambil duduk di bangku panjang bersanding Alana. Kak Arter menempati sebuah kursi tunggal di seberang kami. Beruntung, teras yang berada sedikit di pojok ini jarang dilewati lalu-lalang warga kost, hingga kami tak perlu berdiam ketika mereka lewat atau mereka mendengar apa yang kami bicarakan. Teman-teman lebih suka melalui pintu garasi. Biasanya sekalian mengeluarkan motor, atau memang garasi adalah jalur tercepat jika dari ruang tengah menuju pintu gerbang keluar.
Kak Arter menjambak rambutnya sendiri. Kepala yang tadi dipukul-pukulnya, tertunduk menatap lantai, dengan kedua siku menyangga di lutut. Dia lupa akibat mulutnya yang sesumbar mengeluarkan kekecewaan di depan umum, sekarang publik tahu aib rumah tangga baruku yang harusnya diisi uwu-uwu.
"Damn! Aku emang bego, Vein! Aku nggak bisa mikir jernih sama sekali kemarin." Pria yang memakai jeans, dan kaos polo kasual warna putih juga kacamata doffnya itu, mengumpat. Wajahnya tak kalah frustasinya sepertiku. "Otakku buntu banget. Aku denger dari Papa. Almarhum orang tuanya Adisty itu temen Papa, Vein. Rasanya, kayak aku lagi dibutakan. Tanpa cek apa-apa, udah pengin banget nonjok Heart. Tadi pagi-pagi buta, baru ke RSJ. Dan ngeselinnya, semua bener ..." Kak Arter meremas kedua tangannya sendiri. Tatapannya mencari mataku. Aku berpaling. Hatiku patah duluan sebelum mendengar kelanjutan kalimatnya. " ... Arsenio Heart masih walinya Adisty di sana."
Kutarik nafas dalam-dalam. Mengatur sisa kesabaran agar menahan titik-titik genangan di mata ini tak perlu jatuh lagi untuk Heart.
"Dia sejak setahun belakangan mulai jarang jenguk lagi, sejak ibunya Adisty meninggal. Anak mereka dititipin, tapi aku belum dapatin alamatnya. Maaf kalau ini menyakitkan Vein. Tapi kamu harus tahu. Aku mau kamu membuka mata dan pikiran kayak dulu lagi. Think logic. Jangan pakai hati terus. Dia udah dan bakal nyakitin kamu, Vein. Seperti dia ninggalin Adisty."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...