47. Lio dan Nio

20K 1.9K 46
                                    

Apa begini yang dinamakan perasaan anak mempengaruhi kesehatan? Alhamdulillah, Galvin sembuh setelah aku dan Mas Iyo setuju akan pulang-pergi seminggu sekali ke Temanggung. Sering-sering menengoknya. Juga akan membawanya setelah aku menyelesaikan Obgyn dan Mas Iyo ujian tesis.

Bukan. Bukan perasaan Galvin yang mempengaruhi kesehatan. Dia ini ternyata mau tumbuh gigi. Ada dua gigi menyembul ingin keluar. Sedangkan soal pelukan Ibu sebagai pereda sakit, kurasa itu benar adanya. Galvin tenang tertidur dalam rengkuhanku. Mulai terbangun dan menangis lagi saat aku kedapatan kabur untuk sekadar mandi atau sarapan. 

2 hari terlewat, anak itu sekarang sedang bermain di pinggiran pagar kolam renang. Sedangkan, aku menemani dari kursi malas berpayung raksasa warna hijau. Aku heran. Temanggung sedingin ini, apa orang-orang tidak menggigil, ya, berenang? Atau, kolam ini dibuat hanya untuk mempercantik area rumah saja?

"Lio sama Nio dulu suka renang."

Seseorang menjawab pertanyaanku. Ibu menyejajari duduk di bangku seberang meja. Beliau mengenakan daster panjang juga jilbab lebarnya. Membawa kue beraroma coklat yang terlihat masih mengepul uap. 

"Mas Iyo dulu panggilannya Nio, Bu?"

"Iya. Yang ngubah jadi Iyo-Iyo ya cuma Nak Vein." Aduh. Aku tersenyum, tidak enak jadinya. "Jadi sekarang semua manggilnya Iyo."

"Mas Lio sama Mas Iyo kembar identik ya, Bu?"

"Iya. Kata orang, persis banget. Yang bedakan cuma tahi lalat di leher. Tapi menurut Ibu, mata mereka beda. Yang Lio lebih mirip mata Bapak, kalau Iyo mirip Ibu."

Kami terdiam dalam pikiran masing-masing selagi Ibu meminta tolong Bude untuk mengambilkan foto album. Sambil mengawasi Galvin yang sesekali berlari mengangsurkan mainan padaku. Mungkin anak ini juga suka air seperti Bapaknya. Aku jadi punya ide ingin menghadiahi kolam renang buatan, seperti di toko-toko mainan itu. 

Kubuka album hitam elegan yang Ibu berikan. Bude juga membawakan teh hangat untuk kami berdua di siang mendung yang terasa bagai pagi. 

Di sana, banyak potret kecil dua anak lelaki berwajah sama. Kuamati lebih detail, memang seolah tak ada yg membedakan keduanya. "Yang ini Lio. Yang ini Iyo," tunjuk Ibu, ketika melihatku kebingungan mencari yang mana Mas Iyo-ku.

Kulewati pelan satu per satu halaman. Merekam gambaran yang ada untuk kusimpan dalam kenangan. Aku mungkin tidak mengenal Mas Abilio. Tapi dia adalah saudara Mas Iyo. Seseorang yang pernah ada dalam keluarga ini. Baru setelah sampai di dua halaman belakang, ada satu foto menunjukkan seorang bayi sedang digendong oleh Ibuku. Ibu Ratih. Juga dua anak lelaki yang satu menowel pipi si bayi, satu lagi bersidekap melengos. "Ini saya?" tanyaku.

Ibu mengangguk. "Yang pegang pipi Nak Vein itu Lio. Dia gemes banget. Dari dulu, pengin adik perempuan. Nah, yang lagi ngambek itu Iyo."

Jadi benar kalau kami memang telah dikenalkan dari lahir. 

Hingga tiba pada halaman terakhir, aku sudah berubah menjadi seorang balita memakai baju kodok. Diapit dua anak kembar usia SD. Sedihnya, aku tidak ingat momen ini terjadi dimana dan sedang apa. 

"Saya kok lupa ya, Bu?" tanyaku ragu.

"Nggak papa. Kenangan masa kecil memang banyak yang diskip pasti. Kalau foto ini ... hari terakhir kami melihat Abilio. Ini di seberangnya sungai belakang, Nak. Setelah nyeberang jembatan kecil itu, dulu ada kebun teh di sana. Kita rencana mau camping bareng waktu itu. Makanya, di sebelah sungai sudah Bapak siapkan area yang kami semen sepetak. Biar nyaman kalau ada acara-acara outdoor."

Dan, selanjutnya ... tragedi terjadi. Ibu tidak melanjutkan cerita beliau, namun aku bisa membayangkan bagaimana akhir kisah keinginan berkemah dua keluarga kala itu.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang