Ada begitu banyak cara bagi seseorang dalam melindungi jiwanya dari berbagai sumber masalah yang bikin terluka. Dari berlari sejauh mungkin, menantang dengan mengedepankan rasional, menyalahkan orang lain, menyalurkan hobi, hingga istilah semacam denial, represi, regresi dan sebagainya yang bikin aku malas menyebutkan karena sekarang sedang mengalami.
Beberapa kali, aku sudah mencoba self-defense mechanism yang mendahulukan logika dibandingkan emosi. Sayangnya, tidak bertahan lama. Marah dan tangisku masih sering tiba-tiba muncul dan Mas Iyo mau tidak mau siap menjadi pelampiasan KDRT abal-abalku. Ngomong-ngomong, soal panggilan Arsenio Heart, aku mungkin akan seperti anak labil yang suka menggonta-ganti cara memanggil ke depannya. Suka-suka aku ya? Aku, kan, dalam proses menjinakkan jiwa dari ledakan massive bom, yang ditanam diam-diam sejak dari dalam janin.
Menyalahkan orang lain? Siapa yang mau kusalahkan? Walau aku tahu benar, siapa-siapa saja tersangkanya. Untuk apa? Apa hasil dari aku menyalahkan mereka? Puaskah perasaanku? Mereka orang-orang tersayang yang amat kubutuhkan dalam hidup. Semarah-marahnya, aku akan berakhir turut sedih usai mengomeli mereka. Semua tak bisa diputar balik. Hanya sanggup kami perbaiki demi masa depan. Pun, waktu yang kubutuhkan takkan semudah dan secepat itu.
Aku memilih berlari dari masalah. Kuhentikan Ibu dan Bapak yang berusaha akan menjelaskan mulai darimana duduk perkara bermula. Tak sanggup mendengarnya, aku hanya bilang, "Vein ngantuk. Mau tidur."
Sampai 2 malam Bapak, Ibu dan kedua mertua tinggal dalam satu atap bersama kami, mereka lebih berusaha untuk menghiburku. Memanjakan, memenuhi apa mauku sampai rasanya tidak perlu turun tempat tidur untuk meminta apapun.
"Mbak beneran nggak mau dengar kisah Mbak sama Mas Iyo? Kenapa kami sampai melakukan sejauh ini?" tanya Ibu memelukku dari belakang ketika tiduran di suatu siang. Menepuk-nepuk bahuku seperti saat dulu kebiasaan kami ketika masih di Magelang. Mas Iyo mulai masuk RS lagi, meninggalkanku bersama 4 orang tua ini. Aku menggeleng. "Mungkin Ibu akan bikin Mbak nangis lagi karena ceritain luka kalian berdua yang ini. Ibu sama Bapak lusa udah mau pulang, takut kami nggak ada kesempatan."
"Mau diceritain atau enggak, tetap nggak akan ngubah apapun kan, Bu? Hak Vein milih, nentuin masa depan Vein sendiri, udah nggak ada lagi."
"Mas Iyo, kami ... memang salah. Tapi semua juga terasa benar." Ibu mulai mengusap kepalaku lagi. Mataku menggenang sambil menahan amarah yang meletup-letup. "Manusia itu tempatnya salah, Mbak, mau sesempurna apapun orang itu. Mas Iyo salah, waktu nekat nikah lari sama Mbak Adisty. Kami juga salah rahasiakan status Mas Iyo dari Mbak, supaya Mbak nggak nolak Mas Iyo lebih dulu. Tapi ada satu hal yang buat kami yakin kalau kalian ini tercipta untuk satu sama lain."
"Bapak Ibu ndahuluin takdir Allah."
"Kami hanya mencoba, dan ternyata jalannya Allah berikan begini."
Haruskah kuterima jalan Allah yang begini? Harus.
Haruskah kumaafkan siapa saja yang berbuat salah padaku? Harus.
Haruskah kukuatkan hati menerima segala alasan mereka? Kurasa, pundakku tidak akan sanggup menampung lebih banyak. Terlebih, ketika ibu bilang, aku akan sedih lagi. Bendera putih kukibarkan. Aku ... menyerah. Biarlah kujalani dulu yang ada, tanpa mendengar apa-apa lebih lanjut.
----------
"Barangnya datang jam berapa, Mas Iyo?"
Hari terakhir aku cuti sakit. Semua tetua setuju ketika kusampaikan ingin tinggal sementara di kost saja. Mereka saling pandang sebentar, menatap Mas Iyo untuk menanyai pendapat juga. Baru OK, setelah anak lelaki mereka ini memberi anggukan.
Mas Iyo mendukungku dengan segala alasan. Aku lebih dekat rumah sakit lah, biar aku banyak temannya lah, juga dia lebih bisa memantau kami—aku dan janin—kalau ada apa-apa, lebih cepat aksesnya ke rumah sakit. Hanya satu syarat yang harus kupenuhi. Kamar kostku pindah ke lantai bawah. Oke saja. Untungnya kamar bawah pojok kiri tidak dihuni sejak tiga bulan lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...