44. Permata Hati

21.5K 2.4K 53
                                    

Kulepas perlahan kaitan tangannya di pinggang. Kudengar dengkuran halus setelah sekian lama. Biarlah. Akan kubangunkan jika tiba saatnya adzan, Mas Iyo belum membuka mata.

Oke. Aku pengakuan dosa. Katakanlah aku plin-plan, galau, tak punya pendirian, emosian sesaat dan mudah sekali berbaikan. Kelemahan yang bisa jadi Mas Iyo ternyata sangat hafal, dari menelisik pertengkaran kami sejak awal. Keputusanku menikah yang tanpa pikir panjang. Juga amarah yang mudah sekali disuap pakai jalan-jalan, perlakuan manis, kesabaran, juga intonasi lembutnya. Karena mau berapa kalipun aku berusaha mendepak lelaki ini dari keseharian, dia datang lagi dan lagi.

Langkahku mengendap-endap keluar. Masih mengenakan babydoll gambar Doraemon.

Di Magelang, pukul 4 pagi, surau-surau mulai terdengar ramai membangunkan lelapnya manusia untuk persiapan Subuh. Demikian pula dapur Ibu. Mulai mengepul. Bau nasi baru matang dari penanak, menggoda iman. Ibu dibantu seorang asisten rumah tangga sejak serangan jantung waktu itu. Bude Puji. Usianya lebih tua dari Bapak. Terbiasa bekerja keras di sawah, mengerjakan tugas rumah tangga bukan hal sulit lagi.

"Masak apa Bude?" tanyaku, melihat Bude sedang mencacah nangka menjadi kecil-kecil. Perasaanku jadi nggak enak.

"Ibu mau bikin gudeg. Katanya suami Mbak Pin suka gudeg ya?"

Kutoyor kening sendiri. Kenapa sih dimana-mana gudeg? Aku saja langsung kenyang, mendengarnya.

"Sama ...?" tanyaku.

"Bapak mau kupat tahu."

Kujentikkan telunjuk. "Nah! Itu! Vein mau kupat tahu aja."

Bude Puji tersenyum. Kami ngobrol sebentar menanyakan bagaimana kabar keluarga Bude Puji, sampai Bapak sudah ada di belakangku bagai jin yang tiba-tiba mak cling muncul.

"Iyo mana, Mbak? Belum bangun?"

Kujawab sambil mengatur nafas. Meredam keterkejutan. "Bentar! Vein bangunin."

Baru saja bangkit dari kursi makan, ternyata dari arah tangga turun seorang bidadara berpakaian putih dengan wajah sudah segar oleh air wudhu. Aku langsung berpaling. Selain disuapin kelembutan hati yang mengalahkan segala kelemahan seorang bunga krisannya ini, aku juga sedikit tidak rela melepas wajah ganteng yang memang seharusnya jadi milikku seorang itu.

"Itu," tunjukku. "Udah bangun."

"Yaudah. Ayo ... ke masjid!" ajak Bapak yang telah siap pakai koko, sarung dan pecinya. Merangkul Mas Iyo bak kawan lama.

Aku kembali ke arah kulkas mau mengambil tahu untuk kupotong-potong biar Bude tidak kelamaan mengolah kupat tahuku, yang kurasakan malah sebuah usapan juga sun kilat di puncak kepala. "Mas berangkat dulu," katanya singkat sambil mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam ..."

Aku membeku di tempat. Bisa-bisanya dia mesum di tempat umum begini. Bapak senyum. Bude Puji pun ikut ketawa-tiwi jahil.

"Duh, Bude jadi kangen jadi manten anyar. Merinding-merinding seneng Bude lihatnya," goda Bude cekikikan masih menggantung pisaunya di udara. "Si Ibu mana ya?" Bude Puji celingukan. "Harusnya Ibu lihat, Mbak. Biar senang, sehat, terus makin semangat nungguin cucu dari Mbak Pin."

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang