14. Spell of Chrysanthemum

32.1K 3.8K 162
                                    

"Kita ada asisten di sini. Tapi saya mangggilnya Bulek. Namanya Bulek Mimah. Orang Jawa juga. Rumahnya di belakang cluster ini. Dia ke sini tiap pagi. Udah bawa kunci. Nanti pulang, ya, jam-jam Dzuhur lah. Saya juga jarang ketemu kalau nggak lagi libur," terangnya. "Nanti saya kenalkan sama Vein, ya? Besok pagi mungkin."

Aku mengangguk terpatah.

"Kamu nggak perlu berbenah. Kecuali, ya, kamar kita sekarang. Kalau masak, terserah kamu mau masak atau enggak. Tapi sebelum nikah, saya seringnya catering. Bulek Mimah bawa lauk kalau hari libur aja, saya kasih uang lebih buat gantinya. Seringnya Sabtu sama Minggu."

Aku kian bengong, sembari menelaah tipis-tipis keterangan Mas Iyo. Aslinya, pikiranku bercabang. Bagaimana bisa konsentrasi kalau ibu jarinya terus memijat punggung tanganku begini? Mempertahankan dinding hatiku tidak semudah yang dibayangkan. Tiupan anginnya terlalu kencang.

"Saya emang bolehin kamu pulang ke kost, itu kalau kamu mau di sana. Lagipula, saya juga banyakan di rumah sakit. Takut kamu sendirian di rumah. Nggak ada temen." Mata bulat Mas Iyo berkedip-kedip. Menunggu keputusanku. Aku pun mengangguk. "Tapi ... ada tapinya."

Aku menaikkan sebelah alis.

"Kalau saya libur, kamu libur, saya harap kita punya quality time bersama. Nggak harus kuantitas, yang penting kualitas."

Alisku makin naik dua-duanya. "Maksudnya kualitas?" Mulutku keceplosan.

"Di rumah bareng, baca, jalan-jalan, belanja, olahraga, masak, beberes bareng, atau apa? Kamu sukanya apa? Yang penting bareng-bareng." Sepasang tangan besar itu menangkup kedua tanganku. "Saat akad, saya sudah memutuskan. Kita nggak bisa hanya sekadar jadi sahabat atau teman seterusnya." Nah, kan?! Sejak awal aku tidak percaya dia. Dia mengingkari janji! "Tapi butuh ada perasaan yang mengikat sampai berpuluh-puluh tahun bersama. Yang bikin kita mikir ulang atau malah nggak jadi, kalau tiba-tiba kita tengkar dan kepikiran untuk pisah. Saya nggak mau itu."

Kuhela nafas dalam-dalam. Sepasang manik Mas Iyo memandangku lekat. Menanti jawabanku tentu saja. Gimana sih ini? Aku bingung.

"Vein bingung, Mas," jujurku.

Sebuah tawa kecil lepas dari bibirnya. Dia terlihat santai dan bahagia. Tangannya kini malah mengusap rambut panjangku. "Iya. Maaf ya? Bikin kamu kaget sama pernikahan ini, bingung harus ngapa-ngapain, sampe rumah suami malah nyapu ngepel," ledeknya makin menjadi.

Tawa jahilnya mulai lagi. Aku mendengus.

"Mas seneng banget sih ngusilin Vein!" marahku pura-pura. Mau kabur tapi tanganku terperangkap. "Bahagia banget kayaknya di atas penderitaan orang lain!" Nadaku makin ketus.

Mas Iyo meremas tanganku. Menariknya agar mata ini menemukan sepasang mata bulatnya lagi. Oh Allah, sampai kapan adegan FTV ini berakhir? Aku mau menangis kebaperan.

"Tahu nggak, arti nama kamu?"

"Apa? Vena? Iyaaa ... tahu banget. Bapak sengaja ngasih nama biar dari nama aja udah jodoh sama Heart, kan?" jawabku cepat. Spekulasi yang aku yakin 100% benar. Mas Iyo mengangguk dalam senyum. Tuh kan?!!

"Tapi yang Chrysanthemum. Bunga Krisan."

"Wangi, cantik, warna-warni?" ocehku asal biar cepat selesai. Setahuku ya, namaku berarti bunga. Mas Iyo justru menggeleng pelan.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang