31. Teman Bermalam

27.3K 3.3K 223
                                    

Heart mengetuk palu untuk pernikahan terdahulunya. Dia bilang ikatan itu tidak sah karena penipuan oleh Adisty tentang kehamilannya sebelum akad digelar. Dia berniat izin pulang sejenak, hanya untuk mengambil dokumen perceraian, yang akan dia tunjukkan padaku. Kami sedang menunggu Alana datang, untuk menggantikan menemaniku di sore berawan cantik ini. Aku bisa menikmati keindahan langit yang tak sesuai suasana hatiku itu, karena jendela kamar tepat berada di sisi barat gedung A RSUP Samanhudi.

Ngomong-ngomong, aku tidak butuh surat cerai Heart dan Adisty. Mau ratusan bukti dipampangkan di hadapanku, tetap rasa ini tidak berubah. Apa sih yang bisa dipercaya dari seorang pembohong?

Apakah karma sedang berjalan? Aku yang membohongi orang-orang, nyatanya berjodoh dengan seorang penipu.

"Pinnn ...!" Sasi membuka pintu, memanggilku usai mengucap salam. "Lo nggak diapa-apain si Brengsek, kan?"

Heart berdiri dari bangku yang ia duduki, sejak menungguiku bengong melihat turunnya matahari perlahan ke ufuk barat. Tak hanya bengong. Aku kadang bisa tiba-tiba menangis mengingat masa remajaku tengah berada di ujung tanduk. Sembilan bulan lagi, aku dituntut harus jadi ibu yang pintar momong dan membesarkan anak. Jadi guru yang nggak boleh bertingkah kekanakan, karena ada wajah kecil yang akan mengamatiku tiap saat. Tidak boleh pulang larut malam gara-gara nonton atau nge-mall. Juga dilarang jorok agar anakku tidak mudah sakit. Aku begadang menyusui, menggendong bayi bak koala, mandiku tidak bisa sesantai gadis, berendam-rendam cantik di bathtube, dandan juga ala kadar lantaran anak keburu nangis. Beberapa dari banyaknya kisah zombie yang diceritakan ibu-ibu perawat bangsal ketika kami sedang santai.

Sesekali aku juga menahan senyum sendiri agar tidak ketahuan lelaki yang sedang bersamaku itu. Seenggaknya, jika Heart tidak akan setia menemani, aku akan punya belahan hati yang siap menjadikanku cinta pertamanya. Penyemangatku melanjutkan hidup tanpa terlalu lama berkubang dalam sedih-sedih club.

Ekspresi Heart geram begitu sosok Sasi nongol di depan pintu.

"Oke, saya memang brengsek. Tapi tolong, bisa tidak kamu menjaga kata-katamu itu."

"Apa?!" tantang Sasi berkacak pinggang di sebelahku. "Mana ada penjahat dimanis-manisin?! Gue udah curiga dari omongan orang-orang tentang lo ya! Makin terang-benderang begitu tahu kalau si Warty Heart yang kondang ini, ternyata nikah sama sahabat gue dan begini jadinya ... Ber-ma-sa-lah!"

Wow!! Sasi ini hiburan sekali. Aku puas mendengarnya mengomel. Namun, juga ada rasa ingin mengingatkan Sasi tentang siapa yang sedang dia panggil brengsek pakai lo-gue itu. Dia, si Warty Heart yang tak segan-segan melimpahkan refrat, tugas kasus, sampai mempersulit ujian. Apa gara-gara Sasi sudah ujian, Senin masuk stase baru di THT, lalu sekarang dia merasa di atas angin? Kalau aku jadi dia sih, maunya juga mengumpat habis-habisan. Sayangnya, aku cinta laki-laki ini. Tidak kuat melihat wajah sendunya.

"Warty Heart?" Heart menaikkan sebelah alis, lantas memandangku penuh tanya. "WH?"

"Iiiiyess!! Kenapa? Jantung lo emang kutilan, kan? Sampe nggak ada hati, nyakitin istri sendiri!"

Tangan Heart sudah meremas-remas di udara. Namun kuyakin dia takkan memukul perempuan. Kekehanku lepas. Mengurai suasana tegang mereka berdua. Rahang Heart yang tadi mengeras, eh melihatku, malah jadi tersenyum. Aku berhenti tertawa lalu melengos menahan malu-malu kesal.

"Udah, Sas ..." tegurku pelan. "Alana mana?"

"Masih beliin lo jus. Mangga mau, kan?"

Aku mengangguk sambil ingin membenarkan duduk menyandar kepala ranjang. Pegal juga ternyata tiduran dalam mode diam-diam ngambek. Belum jadi duduk, Heart mendekat dan malah menahan badanku tetap rebah. Tangannya yang bebas memencetkan remote agar posisi tempat tidurku yang meninggi.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang