16. Uang Makan

29.9K 3.7K 197
                                    

Mas Iyo:
Beli sarapan lg. Sngaja morning circle saya prcepat biar kamu bisa makan lg. Bukan ngegosip di kamar koas. Di dompet ada kartu debit. Dari saya. PINnya tgl nikah kita. Manfaatin kbaikan saya sebaik-baiknya.

Kebaikan? Kok jadi sombong begini kesannya.

Kurogoh tas ransel hitamku. Membuka-buka selipan dompet. Benar saja. Ada sebuah kartu debit dengan logo prioritas di sana. Mataku terbelalak. Jari-jemariku tremor hebat. Seumur-umur, tabunganku mentok menjadi nasabah silver saja. Tanganku mendadak keberatan membawa kartu warna hitam ini.

Vein:
Vein serem bawa kartu beginian. Nanti kl hilang gmn? Nggak Mas Iyo trf aja ke rek Vein?

Aku jadi berpikir, usaha apa yang bisa bikin Mas Iyo punya cukup lumayan uang? Maksudku, di luar keuntungan rumah sakitnya di Temanggung. Kalau dibayang-bayangkan, seharusnya uang Mas Iyo juga tidak banyak-banyak amat. Mengingat dia masih dalam masa pendidikan. Duh, aku tidak mau materialistis sih sebenarnya. Tapi anak Bapak Jaelani sulit menahan rasa penasaran. Menikah darurat saja telah membuatku syok. Apalagi ini.

Mas Iyo:
Itu saya pinjemin. Jgn hilang ya? Saya blm tau rek kamu.

Oh, syukurlah kalau dipinjamin. Aku kira ini uang hibah. Kuketik nomor rekening padanya sekaligus mengucapkan terimakasih. Benar. Aku harus bersyukur atas kebaikan hatinya. Tapi untuk memanfaatkan sebaik-baiknya maksud dia, aku hambur-hamburkan atau bagaimana ini? Jangan sampai aku dan Mas Iyo ada salah paham tagih-menagih hutang, hingga menyebabkan rumah tangga kami gulung tikar di kuartal pertama pernikahan.

Sebenarnya, tidak perlu menebak-nebak lagi sih. Mas Iyo pasti sedang dalam usaha memberiku nafkah uang makan. Terbukti cash di dompet yang kemarin hanya tersisa 100 ribu kini berubah jadi 500 ribu. MasyaAllah. Alhamdulillah. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan. Ngomong-ngomong, jadi semalam waktu aku tidur, dia menggeledah seluruh barangku?! Benar-benar tidak tahu sopan-santun. Mas Iyo mulai mengikis perlahan batas privasi kami berdua sesuka hatinya.

Mas Iyo:
Hrsnya sih kamu yg pegang. Yg istrinya kan kamu. Yg ptg, ga boros aja.

Dih, baru juga aku mau marah-marah, dia seenaknya membuka-buka benda berhargaku tanpa izin, lalu dengan mudahnya dia membuatku jadi berbunga-bunga. Padahal juga, 15 menit lalu, Kegalakan Mas Iyo di laporan kasus pagi bikin aku mau muntah.

Aku dan Alana berjalan cepat ke kantin rumah sakit. Waktu kami tersisa 45 menit sebelum lanjut mengikuti pembekalan oleh para dokter staf pengajar. Jujur, perutku terasa masih kenyang. Namun, kuyakin perasaan ini takkan bertahan lama, sedangkan kemungkinan usai pembekalan, kami akan langsung mulai belajar rodi. Takkan ada lagi masa makan siang kecuali di jam 2.30 selesai operan sebelum pulang. Belum jika ada bimbingan lebih oleh residen yang seenak udel memberi jadwal dadakan. Kalau kata temanku, koas itu haruslah meniru kerja trenggiling. Glundang-glundung ke sana kemari tanpa lelah. Hati ditinggal di kosan. Nyawa dikandung badan. Habis tenaga tinggal isi ulang.

Di sana, kutemukan pria berdasi putih gading, kemeja navy tertutup snelli juga celana formal warna gelap, sedang menikmati nasi rames lauk ayam goreng. Dia yang tadi marah-marah sekarang terlihat tenang. Aku tersentak ketika tiba-tiba Mas Iyo mengangkat wajahnya dan menemukanku sedang mengamati dari depan etalase warung gado-gado. Sesaat saja. Dia lalu disibukkan oleh ponselnya. Tunggu ...

Mas Iyo is calling ...

"Assalamu'alaikum?"

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang