23. Kediaman Viko Tobby

29.2K 3.4K 64
                                    

Apa benar, kencangnya badai didasarkan dari tingginya sebuah pohon? Cobaan besar akan diberikan sebagai ujian cinta pasangan setelah menikah? Atau, pada seorang pribadi agar lulus tahap pendewasaan?

Rasanya belum ada sebulan, aku melewati hari usai akad diucap, sekarang sudah diuji sama Allah. Melalui sikap Mas Iyo yang hanya sepersekian detik itu, tapi berhasil memporak-porandakan seluruh rencanaku.

Memberitahu Sasi secara pelan-pelan, juga ke Kak Arter agar kami tetap bisa berteman setelah dia tahu bagaimana aku terpaksa dinikahi Mas Iyo, pun bertahap-andai takdir mendukung- aku ingin menjodohkan Kak Arter pada Alana, jika Kak Arter benar tetap pada niatannya memeluk keyakinan agama yang sama.

Kurasa ini bukan ujian rumah tanggaku dan Mas Iyo. Tapi tentang perasaanku. Hatiku sendiri. Iya. Aku saja. Karena meskipun sekejap, kakiku nyatanya masih tergoda untuk mengejar Kak Arter, jika Alana tak menahan lenganku dan bilang, "Jangan dikejar, Pin. Lo akan makin nyakitin dia kalo sekarang ngasih penjelasannya. Biar dia berpikir pakai kepala dingin dulu, baru nanti pelan-pelan kalian ngobrol."

----------------

Tante Melda mengajak kami ke ruang makannya yang luas, dengan meja penuh hidangan, untuk menemui anggota keluarga lain dalam kunjungan pertama kami ke rumah Kak Arter. Beliau tersenyum manis ketika mendapati suaminya. Mengusap bahu sang suami agar mengubah fokusnya pada kedatanganku dan Alana.

"Nah, ini Om Viko. Papanya Arter."

Aku dan Alana sama-sama menangkupkan tangan, membalas sapaan Om Viko.

"Ini Ustadz Adiyat. Abinya Ilham, teman kalian tahu, kan?" Giliran Kak Arter memperkenalkan seorang ustadz yang duduk bersebelahan papanya. Beliau berdua sedang menikmati kopi hitam yang telah tandas separuh. Mengobrol asyik karena sedari ruang tamu, aku sudah dapat mendengar tawa gurau keduanya.

Kami mengangguk. Mana ada anak FK seangkatanku yang tidak kenal Ilham? Satu-satunya ketua Rohis yang membuat gencar angkatan di semester 7 dengan undangan pernikahannya. Tidak main-main. Dia mempersunting teman kami sendiri juga yang bernama Naina. Pasangan yang bikin 198 teman lain, patah hati berjamaah untuk pertama kali.

"Gimana Ilham kalau di rumah sakit? Jagain Naina, kan?" canda beliau.

"Couple of the year, Tadz, pokoknya!" Alana membalas ramah. Dua jempol diacungkan untuk menunjukkan betapa Ilham menjadi salah satu panutan bagi kami memilih kriteria suami masa depan.

Kami berbalas candaan sebelum akhirnya pindah ke ruang tengah untuk memulai tausiyah ustadz.

By the way, Kak Arter ini bukan anak tunggal. Dia memiliki seorang adik balita perempuan usia 4 tahun yang gemar berjalan kesana-kemari selagi kami khusyuk mendengar ustadz membawakan materi tentang rukun islam dan rukun iman. Aku tidak pernah menyangka kalau bahasan yang diambil Om Viko, Tante Melda dan Kak Arter telah sejauh ini. Materinya cukup berat, namun Ustadz Adiyat menyampaikan secara ringan dengan contoh-contoh logis, tanpa memaksakan atau memberi gimmick-gimmick agar mereka segera mengucap syahadat. Di pertemuan selanjutnya, beliau akan menjabarkan satu-satu lagi lebih mendalam. Termasuk mengundang aku dan Alana untuk juga ikut hadir lagi.

Selesai belajar ilmu agama, kami diarahkan makan di gazebo belakang, dengan pemandangan kolam ikan dan area hijau cukup luas. Ini sih harusnya kubilang kebun alih-alih sebuah taman. Kebun cantik dengan pohon mangga yang mulai menggantung bakal buahnya, pohon kelengkeng, belimbing yang sedang berbuah kuning-kuning, juga area hijau dekat kolam ikan dengan tanaman hias kecil yang hanya dinaungi beberapa palem dan tabebuya. Sedangkan, para orang tua berlanjut mengobrol di meja makan.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang