9. OP Appendicitis

27.6K 3.8K 135
                                    

"Bokap lo alergi sama rumah sakit kita ya, Sis? Kenapa ngambil Harapan Keluarga begini sih?"

Sebenarnya bukan Bapak, tapi Dokter Heart yang menyarankanku untuk dirawat ke rumah sakit selain Samanhudi.

"Kamu mau orang se-Samanhudi tahu, apalagi Arteria kesayanganmu itu, kalau kita ada hubungan? Saya nggak mungkin, nggak ngurusin semua administrasi kamu, sedangkan Dokter Jaelani udah nitipin ke saya," ngototnya di telepon tadi Subuh.

Aku iyakan saja. Lebih baik menikmati sensasi tusukan di perutku ini daripada berdebat.

Aku sakit. Rapalan doa Dokter Heart pagi itu dikabulkan Allah.

Demam tiga hari, muntah-muntah, diare, badan seperti habis dipukuli, juga ternyata kaki kiriku keseleo. Baru terasa nyerinya saat berjalan menuju parkiran. Cava menyetir mobil Kak Arter, sedangkan dia bertukar. Mengikuti kami dari belakang, menaiki motorku. Kak Arter tidak menerima apapun alasan kami. Padahal, membersihkan jok mobil dari lumpur butuh usaha dan dana ekstra.

Sedihnya lagi, acara sarapan kami batal.
Rencana pengakuan perasaanku urung.
Keinginan mengulik sudah seberapa yakin hati Kak Arter pada Allah, turut gagal.
Termasuk, hampir separuh dari libur dua mingguku setelah stase Saraf, juga habis dimakan sakit ini.

Aku pulang dalam keadaan lembab, disambut khawatir sebagian teman kos yang sedang libur. Berlanjut mandi dan tidur. Alana membagi nasi dan lauk sisa dari kegiatan masak bersama hari Minggu pada kami. Besok lusanya, suhuku mulai naik.

Aku berikhtiar mengobati sendiri, dibantu Dokter Acha, residen Penyakit Dalam yang menempati kamar lantai bawah. Keuntungan tinggal di sarang civitas Samanhudi.

Dan sekarang, nyeri perutku rasanya kian luar biasa, hingga Dokter Acha menyerah untuk merujukku ke IGD.

"Sis, usus buntu, Sis. Harus operasi!" ucap Sasi sambil menitikkan air mata, memelukku. "Lo harus sehat lagi. Kuat lagi."

Kubiarkan Sasi juga meluapkan khawatirnya dengan mengomel. "Lo sering telat makan sih! Apa gegara lo minum air danau? Jangan-jangan lidi pedes lo ini! Duh, Sis!" Walaupun dia juga tahu etiologi penyakit bernama appendicitis ini, tetap saja menyalahkan kebiasaan-kebiasaanku yang sedikit berhubungan.

Sasi bersama Dokter Acha mengantarku ke Harapan Keluarga, seusai sholat Subuh. Mereka tidak kuat mendengar rintihanku sejak tadi jam dua. Aku bilang tunggu sampai Subuh dulu. Siapa tahu, akan mereda. Kenyataannya, enggak.

Alana pulang kampung ke Semarang, sebelum sekitar seminggu lagi kami masuk menjadi junior Sasi. Aku telah mengundur waktunya bertemu orang tua sampai tiga hari demi merawatku. Cava—si bocah ingusan— kubiarkan pulang sesuai jadwal hari itu, dengan syarat tidak boleh ember tentang tragedi memalukan yang kualami. Pasti sekarang dia akan mengungkapkannya pada Bapak dan Ibu karena ujungnya aku berakhir di rumah sakit begini.

"Maaf," jawabku pelan menahan nyeri bercampur ngantuk karena sejak semalam tidak bisa tidur.

"Nomor Bapak. Kalau Ibu, gue takut jantungan," kuserahkan handphone yang telah kubuka di kontak bernama Bapak Jaelani tercinta.

"Iyo itu sepupu lo ya, Sis? Kata bokap lo, minta diserahin semua ke Iyo," celetuk Sasi menutup telepon.

Aku hampir tersedak ludah sendiri. Pasti wajahku makin pasi. Kuanggukkan kepala ragu-ragu ketika tidak menemui keanehan dari respon Sasi. Dia duduk tenang di bangku sampingku, menunggu Dokter Acha datang. Mendadak, aku jadi mau masa bodoh saja, jika ternyata nanti Dokter Heart kepergok oleh keduanya sebagai pria bernama Iyo.

"Eh, gue tadi liat Dokter Heart di parkiran, lho. Kayak buru-buru banget keluar mobil. Jangan-jangan cewek simpenannya dipindah rawat ke sini kali ya? Di Samanhudi kebanyakan kuping kepo."

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang