41. Pahlawan Kepagian

20.3K 2.4K 91
                                    

Si sahabat rambut pendek meremas bahuku tanpa ampun.

"Serius lo, Sis?! Gue kira kalian cuma ngambek-ngambek manja biasa, gegara kemarin ada tragedi di RSJ?! Jangan gilaa, Siisss!!"

Ditambah pipi kanan-kiriku dicubitnya.

"Lo, sih!! Dari kemarin cuma nangis-nangis, nggak curcol ma kita-kita!! Lo anggap kita nih apaan? Sahabat lo bukan, sih?! WH juga!! Dia cuma ngemeng, "Peluk Vein ya, kalo nangis? Jangan dimarahin, ya? Vein masih fragilenggak sengaja lihat Adisty lukain diri sendiri. Saya takut dia makin stres setelah keguguran." Dihh ...!! Kalian lagi nggak main sinetron azab, kan?!!"

Enggak. Aku maunya hidupku bak drama FTV aja. Sebentar, konflik dikit, ending bahagia. Dan, iya. Aku memang stres. Tapi sedihku terpuaskan oleh kebebasan nangis 4 hari 4 malam.

"Lo mikirin apa sih, Pin? Nikah bukan seperti main barbie-barbie-an yang lo nggak suka, terus udahan, kan? Nikah untuk selamanya, Pipin ... Bukannya kita pernah obrolin? Atau perlu gue ingetin lagi?" tambah si sahabat berkerudung abu berkacamata, dalam suara lembut tapi bisa kurasakan geregetan di nadanya. 

Aku mendengus. Mengangkat kepala. Melototi mereka. Sudah ready mengenakan gamis hitam kerudung ungu, seusai merapikan koper kabin yang isinya perintilan pasien keluar RS. Duh, Mas Iyo pintar banget milihin warna duka dan janda menjadi satu kesatuan.

Today, I'm going to go home! Akhirnya. Setelah kukira, nanti aku akan pulang selesai Sumpah Dokter. Ternyata, Allah memberiku kesempatan hari ini. Bapak Ibu sengaja Mas Iyo tahan untuk tidak datang, karena aku terus merengek ingin ke Magelang di hari pertama dirawat. Lelaki menyebalkan itu mengusahakan dengan syarat, aku cukup kuat terbang ke Jogja. 

Alana dan Sasi bergantian menemaniku selama dua hari selanjutnya di rumah sakit selagi kuusir Mas Iyo dari sini. Aku muak melihatnya. Aku capek. Lelah. Tidak mau dia muncul di sekitarku. Sasi dan Alana saling pandang. Masih tidak percaya, aku minta cerai dari suami sok pahlawanku itu. Harus sedikit kuakui, dia memang berjiwa pahlawan. Pahlawan kepagian. Apa-apa yang belum orang kerjakan, sudah dia persiapkan lebih dulu. Termasuk masa cutiku. Tiket pulangku. Dan segala tetek-bengek-nya.

Bagian Pendidikan Obgyn memberi waktu selama 2 minggu untuk masa penyembuhan. Aku tidak tahu apa yang Mas Iyo mohonkan pada staf dosen, tapi libur segini panjang termasuk wow bagi koas. Satu konsekuensi yang harus kuterima nantinya. Ujian staseku terpaksa dilaksanakan bersama angkatan junior. Aku takkan mungkin mengejar timeline teman-teman seangkatan Obgynku.

"Udah gue renungin berkali-kali, Na, Sas. Dan selalu jalan keluar ini yang jadi jawaban gue."

Alana memijat pelipisnya frustasi. Aku tahu, dia juga pasti stres merenungkan sahabatnya ini. Punya teman baru nikah sekitar 3 bulanan. Siri pula. Sekarang jadi janda secepat ini. 

"Terus si WH gimana? Ikutan lo pulang atau nganterin sampai bandara aja?"

Aku mengangguk sambil memanyunkan bibir. "Ikut. Dia sendiri yang bilang, harus dia yang nganterin gue pulang."

Yasudahlah. Lagipula aku jadi tidak harus mengurus tiket, uangku utuh dan aku punya tameng sekaligus kawan berdebat kalau sampai rumah, Bapak Jaelani dan Ibu, siap memakanku hidup-hidup.

Alana menepuk bahuku. "Gue tahu juga paham lo pasti serba syok, kaget, sedih dan nggak nyangka sama sekali sama perubahan di hidup lo yang mendadak jungkir balik ini, Pin. Tapi ..." Alana menggeser bahuku agar memperhatikannya. Juga Sasi yang mulai bersidekap memelototiku. "... Gue sama Sasi nggak setuju sama keputusan lo kali ini. Dokter Heart pasti juga enggak."

"Yes!! Lo terlalu cepat ambil kesimpulan menurut gue, sih, Sis!"

"Gue akan baik-baik aja tanpa si WH-WH lo itu!" Nadaku mulai meninggi. Aku tidak terima.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang