I'm not an extremely lazy girl type, yang sampai akan bikin Dokter Heart muntah-muntah di dekatku. Enggak. Kemalasanku masih dalam batas wajar.
Selesai ujian, libur tanggal merah, sedang stase santai, atau di rumah, adalah masa-masa malasku. Aku masih mandi kok. Walaupun mentok sehari sekali. Aku juga rajin keramas sampai rambut lurus sepunggungku wangi. Berbenah ketika ada teman atau keluarga mau mampir saja. Berpakaian rapi di saat-saat penting.
Semangatku memudar, apapun yang kupikirkan hanya tidur, jika hari seperti Selasa merah kejepit begini muncul di kalender. Vein Chrysanthemum Jaelani juga paling malas berangkat belanja, tapi kalau sudah sampai department store, bisa memakan waktu berjam-jam lamanya.
Seperti sekarang. Aku telah rapi. Duduk di lobi Hotel Samanhudi dengan celana panjang kulot putih berpadu tunik hitam, ditambah kalung dan tote bag vintage. Rambut kuikat biasa. Tertutup bucket hat coklat yang kusiapkan untuk menyembunyikan sebagian wajah, kalau-kalau ada orang mengenali kami di Thamcit.
Memang siapa sih yang mau ke Thamcit, Vein?
Tapi, kan, ini hari libur. Anak-anak pasti menyebar di banyak tempat nongkrong dan belanja. Semoga saja mereka mainnya sekitaran Depok saja. Bisa gawat jika aku ketahuan berkencan dengan calon mertua dan si anak obsesif kompulsifnya.
Aku harap Dokter Heart tidak memandangku sebelah mata. Niatku sedari awal adalah ingin bertingkah tidak sopan hingga dia dan Ibunya ilfeel. Setelah kupikir ulang, aku membawa nama baik Ibu dan Bapak Jaelani di sini. Bagaimana kalau mereka membatin bahwa orang tuaku tidak pandai mendidik anak?
Akan kulakukan misinya nanti saja, saat berdua bersama Dokter Heart. Sampai dia jijik, tidak ingin dekat-dekat seorang Vein lagi.
Kamar kostku juga telah rapi. Dalam satu jam, aku bisa secepat kilat menyelesaikan. Sudah termasuk mandi, keramas, dan mencuci alat makan sarapanku yang kotor. Persiapan jika Ibu mampir.
Ibu adalah perempuan lembut. Bapak juga. Namun kata-kata lirih dan dominasinya mampu membuatku dan Cava bertekuk lutut seketika. Aku tidak mau Ibu makin jantungan menjadi tamu di kost anaknya sendiri.
Ah, mereka datang.
3 orang—eh, 4 orang yang kutunggu. Si pembuluh darah Cava ternyata ikut. Adik berambut pendek yang tingginya lebih dari aku dan Ibu.
"Mbak Piiinnn ... !!" Perempuan bongsor itu berlari menyambutku. Memeluk sampai aku terjatuh di punggung sofa. Setan macam apa yang merasuk di tubuh Cava? Tidak biasanya dia begini. "Aku kangen. Aku bawa oleh-oleh bakpia. Kesukaan Mbak, kan? Isi kacang ijo."
"Kamu nggak salah meluk Mbak, kan, Va? Tumben banget?"
"Nggak lah. Aku tuh sedih Mbak Pin udah mau nikah. Jangan lupakan aku, Mbak," rengeknya dilebih-lebihkan.
Kenapa Cava jadi melo begini? Kepalanya menyandar di bahuku dengan tangan melingkar memeluk bahu. Kutepuk punggung lebarnya.
Ibu dan Bu Dina mendekat. Aku mencium tangan keduanya dan beliau balik memelukku. Aku mematung, tidak menyangka ketika Bu Dina juga mencium kedua pipiku. Bukan semacam cipika-cipiki dengan sejawat arisan, bukan. Beliau mencium seperti seorang ibu mencium pipi anak kecilnya.
"Nak Vein sehat? Ya Allah, udah dewasa banget ya, Mbak Tih?" Ibu tersenyum menanggapi beliau. "Cantik." Bagaimana aku tidak membeku kalau kepalaku diusap penuh perhatian seperti itu? Apa-apaan ini? Hatiku lembek bagai jelly. Mudah sekali terperdaya kebaikan seseorang.
Ibu datang dengan kerudung instannya menutupi gamis batik warna hijau aksen bunga. Sedangkan Bu Dina mengenakan abaya hitam lengkap dengan kerudung lebar senada yang menutup sampai perut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...