40. Punggung Tangan yang Basah

21.3K 2.6K 160
                                    

Andai saja, bisa kutarik kata-kataku kemarin.

Andai saja, aku sanggup berbalik ke belakang dan menolak rancangan hidup ini di masa lalu.

Andai saja ...

Segala pengandaian selalu mengikuti sebuah penyesalan. Penyesalan ada, jika apa yang hadir, tak sesuai dengan yang kita ingin. Bukannya Allah memberi yang terbaik menurut-Nya, bukan yang baik berdasarkan kita? Kuusahakan berpikir sejernih mungkin dalam derai yang tak kunjung usai, tentang hal baik macam apa yang masih bisa kupetik dari garis hidup ini?

Aku terbangun sore harinya di ruang yang sama kutinggalkan beberapa minggu lalu. Kencana Rumah Sakit Samanhudi. Bersama Alana dan Sasi yang mereda tangisku kemudian. Mas Iyo baru datang di malam hari, setelah mengurus pemakaman Mbak Adisty. 

Pagi hari berikutnya, kutemukan setitik darah hitam setelah mengalami kram perut sedari pukul 2 malam. Hingga siangnya, sebuah gumpalan besar menyusul keluar. Buah hati kesayangan kami ... turut meninggalkan kami. 

Mas Iyo panik bukan main. Dia tidak tidur. Kurasa, dia juga tidak mandi. Hanya berganti pakaian, karena rambutnya yang biasa basah ketika mandi, bertahan kering. Dia terus menanyakan bagaimana kondisi perutku. Menyiapkan obat, juga melarangku bergerak terlalu banyak. Apalagi turun tempat tidur. Aku benar-benar disuruhnya bedrest total bagai mayat hidup, sedang dia melayani dari atas ranjang.

Aku? Hati ibu mana yang tak patah berkeping-keping, kehilangan calon kehidupan yang akan menguatkannya di masa depan? Aku tak berhenti sesenggukan, menahan tangis hebat.

Sungguh, dua hari ini adalah masa terberatku yang pernah ada.

Melihat kematian perempuan yang kurebut hati pun hidupnya di depan mata, dipicu ucapanku sendiri. Detak dan kantong janin yang menghilang dari layar USG. Darah mengalir yang membuatku ngeri memikirkannya. Juga suami dan keluarga yang kepercayaannya kupertanyakan. 

Aku dilingkupi oleh manusia-manusia bertopeng. Sarat ego dan tujuan. Begitu menggaung-gaungkan kasih sayang, namun tak dapat kutangkap keikhlasannya. Sedikitpun meninjau akan bagaimana hancurnya perasaanku nanti, juga tidak.

Bagai tersambar petir di tengah hujan deras. Pekat. Berisik. Suram. Aku tidak dapat melihat apapun di masa depan. Tak ada Vein yang seceria dan seringan dulu. Juga Mas Iyo yang kupikir akan membuka hatinya seluas-luasnya padaku.

"Aku mau kita udahin semua ini," ucapku lirih. Mengakhiri aksi diam seribu bahasa dalam dua hari ini. Menelaah apa yang sejatinya sedang kujalani. Kulihat dari sudut mata, Mas Iyo menghentikan kegiatannya mengusap punggung tanganku. Dia mengangkat wajah, berubah menatap penuh awas.

"Vein? Kamu—"

"Aku mau kita selesaiin semuanya sampai di sini."

Mas Iyo meremas jemariku lemah-lembut. "Sayang? Kamu ngomong apa sih?"

Kulepas paksa tanganku dari genggamannya. Ini bukan tentang karena aku kalut kehilangan dua orang. Benar, aku kalut. Tapi rasanya, aku hanya—semua seperti tidak berada pada tempat yang seharusnya. Jika boleh aku bilang takdir terlalu kejam, akan kuteriakkan keras-keras. Namun, tak ada takdir yang kejam. Aku sedang diuji, dan kurasa ini pilihan paling tepat yang harus kuambil. Sulit dan menyakitkan.

"Aku mau kita cerai aja, Mas." Kuraupkan kedua tangan ke muka. "Vein nggak sanggup lagi …"

“Jangan bicara apapun. Kamu masih sedih. Mas juga …" perintahnya lirih.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang