Adisty adalah teman seangkatan Mas Iyo. Sama-sama masuk Fakultas Kedokteran UNI tahun 2010. Anak seorang almarhum pensiunan staf dokter spesialis Anestesi RSUP Samanhudi. Kak Arter mengetahui kisah mereka dari papanya—Dokter Tobby— yang berprofesi sama. Orang tua meninggal, anak tunggal, lalu kini tak ada seorang pun keluarga mengambil kewajiban perwaliannya di rumah sakit ini.
Bagi beberapa pihak, memiliki anggota keluarga jadi pasien di RSJ adalah aib yang harus disembunyikan rapat-rapat dari masyarakat. Sebagian bahkan tidak mau menerima mereka kembali ke rumah, ketika dokter menyatakan sembuh dan membolehkan pulang.
Lalu, apakah sekarang Adisty harus menjadi tugas Arsenio Heart? Kurasa tidak. Mas Iyo bisa saja menyerahkannya pada Kementerian Sosial jika tidak ada rasa bernama—yang konon hanya— 'iba' melihat kondisi perempuan ini. Aku tidak percaya. Mau bagaimanapun, mereka pernah punya sejarah bersama walau seumur jagung.
Pacar Adisty bernama Richard tidak pernah muncul. Menengok mantan pacar, juga darah dagingnya. Semudah menanyakan kabar pun, tidak.
Apa yang bisa kunilai dari wanita kurang waras ini? Sekilas, nampak biasa saja. Gesturenya tenang, diam, sendu. Mata bulatnya terus menatapku mendung dari balik jendela itu. Aku merasa aneh dilihatin. Bukan seperti pelototan orang marah. Matanya seakan berkata hanya mencari teman. Ketika kuberanikan diri untuk membalas tatapannya, tangannya berkali-kali melambai ke sini. Menyuruhku mendekat.
Sudah kubilang belum? Adisty punya sepasang mata bulat. Persis Mas Iyo. Juga rambut panjang lurus dengan kulit putih bersih.
"Kami udah tahu cerita Mbak Vein, Dokter Heart sama Mbak Adis ..." kata Suster Nuri di nurse station bangku sebelahku. Seorang perawat berkerudung usia 40 tahunan yang nampak sabar. "... Dokter Heart yang cerita. Mau bagaimanapun, orang sakit jiwa nggak bisa disalahkan. Maunya dibilang benar. Nanti kalau Mbak Vein mau ngobrol, kalau Mbak Adis menyangkal, iyain aja. Dia juga nggak akan bisa ngapa-ngapain."
Aku mengangguk. Ya kali, mau kuapakan? Mengajaknya berdebat? Menyakiti hatinya? Dia tidak punya salah padaku.
Mas Iyo meninggalkan kami sementara menemui psikiater di ruang prakteknya. Aku ditinggalkan bersama seorang perawat pria dan dua wanita, yang salah satunya Suster Nuri ini. Menjaga 3 kamar berkaca berisi masing-masing pasien. Satu pasien, satu suster. Berdasarkan informasi, ketiga pasien ini tidak dalam fase terburuknya. Mereka dibebaskan keluar di sekitaran bangsal Dahlia pada jam-jam tertentu. Baru diharapkan masuk ke kamar, kalau ada salah seorang dari mereka dijenguk.
"Mbak Vein mau ngobrol sama Mbak Adis?"
Aku menoleh kaget. Tidak punya persiapan mau bicara apa sama Adisty ini. Menanyai, apa penyebab dia depresi? Atau bagaimana perasaannya sekarang pada Mas Iyo? Tidak rindukan dia sama Galvin? Apa yang dipikirkannya tentang masa depan?
Beribu tanya berjubel di benak, tak berani kuungkapkan.
"Boleh emang?"
"Boleh. Mbak Adis sedang dalam kondisi baik. Dia rajin minum obat. Tadi bahkan minta mandi sama dandan waktu saya bilang ada yang mau jenguk." Suster Nuri tersenyum. Dia berjalan ke jendela, lalu membukakan sebuah akses kaca tebal kecil berteralis yang bisa dibuka. "Mbak Vein bisa ngobrol di sini. Ya, Adis, ya ..? Mau ngobrol sama yang jenguk? Ini ada Mbak Vein."
Aku mendekat. Menarik kursi tunggal yang ada di samping setiap jendela kamar pasien.
"Hai? Saya, Vein," sapaku berkenalan. Tidak bisa berjabat tangan, kuberikan senyum hangatku untuknya. "Mbak Adisty apakabar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...