46. Ospek Orang Tua

20.1K 2.4K 77
                                    

Mas Iyo mengajakku house tour sebentar sambil memperkenalkan pekerja-pekerja ART-nya Ibu. Ada 3 perempuan berusia sekitar 40 tahunan, juga 3 lelaki lain yang belum aku tahu orangnya, masing-masing bekerja sebagai tukang kebun, satpam dan seorang sopir.

Ibu mengajak ngobrol sebentar selama makan, membesarkan hatiku bahwa Vein akan selalu kuat menghadapi setiap ujian hidup, lalu aku disuruh beristirahat. Beruntung, diriku memiliki dua Ibu lemah lembut yang baiknya minta ampun begini. Seharusnya, aku bersyukur. Banyak orang tidak berkeluarga selengkap yang kupunya sekarang. Meski telah kehilangan seorang janin, Allah menyiapkan Galvin dan keluarga Mas Iyo yang mau menerimaku apa-adanya.

Seharian, aku dibiarkan istirahat, tidur, menikmati kamar Mas Iyo yang bernuansa cowok banget. Gelap-gelap sepi, dingin, minimalis, tanpa pernak-pernik. Sebelum masa orientasi penuh keringat dimulai keesokan harinya. 

------

Kalau dipikir punya anak itu sweet-sweet candy, aku salah besar. Mas Iyo memulangkan sitter Galvin tepat ketika 2 hari kemarin menjadi hari bersejarah kami. Titik balik aku resmi bin sah di surat-surat menjadi Ibu Arsenio Heart. Juga sebagai emaknya Apin.

Kupikir waktu dikenalkan, aku bisa sedikit bernafas lega. Ada yang bisa membantu dan mengajariku sebagai ibu baru. Nyatanya ...

Aku tidak tahu, ini Mas Iyo dan Galvin seperti kompak mengerjaiku sebagai ibu baru. Aku merasa mereka sedang mengospek anggota junior yang masih anget-angetnya masuk rumah.

Mengurus pup, pip, menyuapi Galvin sampai cemong-cemong, memandikan bocah itu yang malah bikin bajuku basah sendiri, juga menidurkan yang—ampuuunn!!!—harus pakai dongeng sampai berbusa. Aku sih tidak punya dongeng lain lagi selain Timun Mas, Tangkuban Parahu, sama Malin Kundang. Stok ketiganya langsung habis pada hari pertama. Setelahnya, kucurhati saja bagaimana gaya Bapaknya bertempur di OK dan VK, yang juga bikin Mas Iyo ikut menahan tawa. Juga pengalamanku sebagai koas trenggiling. Keseharian aksi glundang-nglundungku sejak pertama menginjak rumah sakit. Mata bulat Galvin bengong memperhatikanku. Baru setelah 15 menit kisah berjalan, dot susu mulai habis, mulutnya berhenti bergerak, lalu botol itu jatuh sendiri di kasur, di situlah aku merasa tugas menjadi ibu, selesai shift-nya.

Setelah tiga hari, bocah bertubuh gemuk sekal itu mulai akrab denganku. Aku sempat menghitung chart tumbuh kembangnya karena ketakutan anak ini obesitas. Ternyata ... mmm ... lumayan. Tepatnya Galvin overweight sih. Kulaporkan pada Mas Iyo, dia malah tertawa sambil peluk-peluk anaknya yang sedang tidur, tidak pakai lemah-lembut. Aku sontak berubah jadi emak singa. Kalau anak itu bangun, aku tidak mau menanggung resiko nina-bobo lagi.

Mas Iyo hanya menjawab santai, "Nggak papa. Untung, kan, belum obes. Udah ada Ibunya ini," ketika aku protes jangan terlalu memberi makanan apa saja yang Galvin minta. Memang kenapa kalau ibunya ada dan tidak ada?

Selama itu pula, Galvin juga mulai mengenalku. Aku dipanggilnya, "Pupin ... Pupin ..." Maksudnya: Ibu Vein, kalau-kalau ada yang nanya.

Walaupun sepasang kakinya gemuk bagai singkong, yang seharusnya bikin dia malas bergerak, hebatnya Galvin seperti tidak habis bahan bakar. Keliling rumah, naik-naik sofa, meja, tangga yang telah dipagar, juga girang sekali jika penjelajahannya bisa mencapai halaman belakang. Di sana ada kolam renang yang sengaja telah dibatasi kaca oleh Bapak. Anak kecil itu pasrah menempelkan wajah di dinding kaca bak cicak, melihat berkubik-kubik air dingin yang tak mungkin ia gapai.

Kuacak kerudung frustasi. Kenapa aku tidak bisa sekalem Bu Ratih Jaelani dan Bu Dina Respati menghadapi bocah ini ya? Apa bayiku tidak terlalu merepotkan? Atau justru beliau berdua yang memiliki segudang stok kesabaran?

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang