28. Film Hantu

23.6K 3.1K 68
                                    

Aku ini konyol, polos, bego, tolol bin mengenaskan. Kenapa mau-maunya aja dinikahi penipu macam Mas Iyo? Cih! Jijik banget aku memanggilnya Mas Iyo.

Aku menangis habis-habisan dalam perjalanan. Meluapkan kekecewaan. Setelah menyambet clutch milikku dari tangan Alana, kabur menaiki taksi yang baru saja mengedrop tamu lain, aku pergi ke XXI di Margo City.
Mengacuhkan ponsel yang berdering tanpa ampun dari Heart jahat, Alana, Sasi, Arter, kumatikan tepat begitu menginjakkan kaki di lobi mall ini.

Vein:
Biarin gue dinginin kepala dulu. Rasanya mau meledak, Na. Gue nggak bunuh diri.

Pesanku terakhir sebelum menekan tombol daya.

Aku mencari tontonan paling menyedihkan sedunia yang sedang diputar. Ada tidak? Sedangkan mataku mengabsen deretan layar film yang dipajang, lagi-lagi drama komedi, action dan film horor yang beberapa minggu lalu kutonton bersama Heart yang tertidur. Bodo amat sama mata orang-orang yang menatap aneh dresscode yang kukenakan. Kuputuskan untuk menonton lagi film Hantu Kolong Kasur itu.

Aku menjerit segila mungkin di dalam, menghabiskan air mata, sesenggukan tanpa henti, gumpalan kesal di dada, tumpukan amarah tak terlampiaskan, juga penuh sesak frustasi di kepala, selagi yang lain hanya punya ekspresi ketakutan.

"Arrghhh!!! Kejaaam!! Rasain!! Matikkk lo hantu!!"

Hantu kok mati? Iya. Banyak hantu yang konon sudah mati itu, mati lagi untuk kedua kali kalau mau ending film horor ini bahagia. Fiksi pembodohan yang mau-maunya aku dibodohi juga.

Aku puas berteriak di kerumunan orang-orang menonton? Lumayan. Tapi rasanya masih butuh ada Heart, si raja tega, di depanku untuk kucincang habis-habisan. Atau, Alana yang bisa menemaniku menangis semalaman. Atau, Sasi yang sanggup mengomeli dan menyadarkanku dari kebegoan sampai pagi. Kalau tidak, aku bisa mati sedih sendirian tanpa ada yang bisa kuajak bicara. Toko-toko telah tutup saat aku keluar bioskop. Ku stop taksi di lobi untuk mengantarkanku pulang ke kost di pukul sebelas malam. Kuobrak-abrik isi clutch yang minimal ini. Tidak kutemukan kunci kamar. Ngenes banget, kan? Bahkan kunci kamar saja nggak mau mendukung aksi kaburku.

Kunyalakan ponsel. Mengirim pesan pada Alana bersamaan masuknya ratusan pesan tidak terbaca.

Vein:
Boleh nggak gue nginap kamar lo? Gue nggak bawa kunci kosan sama kamar juga, Na.

Tak berselang semenit, dering telepon memanggil-manggil. Alana.

"Piiinnn?!!!! Astagfirullah!! Lo dimanaaa?!!! Suami lo panik muterin Depok nyariin lo, Piiinn!!!" teriaknya sampai kupingku pengang.

"Di taksi. Otewe kosan." Kuhela nafas panjang biar tidak usah menangis lagi. Panik? Aku kira dia cekikikan karena telah berhasil membohongi cewek polos sepertiku. "Bisa nggak, nggak ngomongin dia dulu? Gue belum berani denger apa-apa."

"Doi jalan ke sini juga. Keep calm, Pin. Gue temenin. Kita juga butuh dia bawain kunci kamar lo, kan?"

"Na ... tolong."

"Kalau beneran belum sanggup, ntar gue yang temuin. Yang penting, pulang dulu, udah malem, Pinnn ... gue sama Sasi udah kayak orang gila ngejar lo tadi tapi hilang jejak."

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang