21. Kind-hearted Doctor

34.6K 4.2K 161
                                    

Alih-alih bertanya, "Aku tuh bikin kesel apa sih, Mas, sama kamu?" aku justru menyuarakan tawaran, "Mau nggak, aku kerokin punggungnya? Perutnya dikasihin minyak kayu putih juga, tadi Vein liat ada di kotak obat." Dan Mas Iyo mengangguk dalam peluk.

Aku tidak takut sama sekali. Kubayangkan, dia adalah pasien rumah sakit yang memang butuh perawatan dari dokter. Lagipula, Ibu dan kebanyakan masyarakat di sekitarku—atau mungkin di daerah Temanggung juga, aku belum tahu— terbiasa memakai kerokan sebagai alternatif pertama pengobatan untuk masuk angin dan kelelahan seperti ini. Bapak Jaelani saja langganan tetap kerokan Ibu.

Mas Iyo terlelap ketika aku memberi pijatan di punggung seusai menyelesaikan sketsa tulang ikan merahku di sana. Kurapikan kaos, dan menyelimutinya sampai leher, sebelum ikut-ikutan mengambil guling untuk kupeluk. Menutup mata, mengurangi letih seharian beraktivitas. 

--------

Beginilah kalau hati masih maju-mundur dalam memahami cinta. Terkadang keberanian bisa mencapai 200%, lantas dalam sekejap, berubah terjun bebas to the lowest level of 1%. Dari suasana hangat hot-hot pop, berubah anyep-anyep masuk angin.

Aku dan Mas Iyo seolah sedang menggali bagaimana sebenarnya perasaan kami. Berusaha menemukan bahwa cintanya kami ada dalam diri pasangan halal ini. Bagiku, tidak ada lagi jodoh 98% dalam kamus. Manusia boleh berencana dengan segala kehebatan dan spekulasinya. Namun, selalu ada kemungkinan takdir lain yang Allah siapkan sebagai yang terbaik.

Kak Arter terkalahkan oleh si 2%. Satu persen sumbangsih dari perjodohan orang tua sejak zaman zigot, dan satu persen lainnya adalah takdir Maha Kuasa yang takkan bisa diotak-atik lagi. Aku kepingin nangis di awal-awal. Perlahan, mencoba berdamai dengan diri sendiri. Seterusnya, akan kuterapkan ilmu kedua Ibuku. Mengalah, sabar dan nerimo.

Mas Iyo adalah takdir terbaikku? Jawabannya, InsyaAllah. Aku mulai meyakini itu sejak dia menggenggam tangan di hari kedua kami dan berikrar akan berusaha menumbuhkan rasa ini bersama-sama.

Kami ketiduran sampai hampir Isya'. Parah memang. Hujan deras mengaburkan adzan yang biasanya memang sayup-sayup terdengar. Masjid terlalu jauh dari cluster rumah. Mas Iyo juga terlelap pulas sepertiku. Kami sama-sama membuka mata dalam keadaan super awkward, dengan aku yang berubah posisi berada dalam pelukannya. Perasaan tadi yang kupeluk adalah guling. Atau, jangan-jangan, aku mulai bertingkah sebagai atlet silat lagi? Mataku mengerjap-ngerjap sebentar. Kami saling pandang tidak percaya. Dia tersenyum hangat, mengusap rambut, lalu mengabsen ubun-ubunku seperti biasa, yang kemudian langsung menyadarkanku. Tubuhku reflek bangun. Lari terbirit-birit ke kamar mandi. Di dalam, aku mengumpati diri sendiri, kalau sore tadi aku benar-benar menjelma jadi jablay banget sampai bobok peluk berkali-kali. Sialan memang!

Mas Iyo terus tersenyum meledek, sejak melihat mukaku memerah sedari keluar kamar mandi. Rasa kasihan bercampur sayang padanya, bikin aku lemah segampang ini. Bagaimana kalau dia belum juga mencintaiku? Selama ini, telingaku nihil mendengarnya bilang sayang atau cinta padaku. Akan kutunggu sampai akhir hayat, tapi jangan harapkan aku menyatakan cinta juga sebelum dia mulai duluan.

Aku kabur merebus telur dan memanaskan bubur. Harusnya, telur ini aku ceplok satu-satu saja tadi. Agar aku punya pekerjaan, tidak kebanyakan bengong di depan kompor dan justru memikirkan kegilaanku sesorean.

Kugeleng-gelengkan kepala sambil menjerit dalam hati! Astagfirullah!

Baru serius-seriusnya memikirkan bagaimana mencegah agar hati ini tidak tertaut lebih dalam padanya, sebuah tangan tanpa selang infus mengalung di pinggangku. Aku menoleh ketika Mas Iyo tepat menyandarkan dagunya di pundak.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang