"Mau langsung pulang?" Aku mengangguk masih memandangi deretan pertokoan sepanjang jalan. "Badmood gitu. Mau nge-mall? Mas temanin."
Bibirku diam seribu bahasa. Hanya kepala saja yang menggeleng.
"Yaudah, kalau begitu, temanin Mas makan ya? Laper." Baru ketika aku mengiyakan, dia mengusap kepalaku. "Istri pintar. Istri baik."
Aku ketiduran selama menghabiskan sisa sesenggukan di dalam mobil. Perpaduan masalah antara menyesali segala tumpukan kebohongan, efeknya pada Kak Arter dan Sasi, pernikahan yang masih belum diakui hukum, juga ketakutan akan hamil karena gagal memikirkan kontrasepsi sedangkan kemarin masa suburku. Semua tumpah-ruah bersamaan dalam satu waktu yang tak pernah kupersiapkan sebelumnya.
Baru membuka mata ketika Mas Iyo mengusap-usap lengan pelan. Suasana atap parkiran basement langsung menjadi pemandangan pertama. Aku juga baru tersadar, bangku mobilku sedang dalam posisi rebah. "Mas Iyo yang benerin bangku?" tanyaku membenarkan ke posisi semula. Menggunakan nada suara yang berubah serak-serak becek karena kebanyakan menangis.
"Iya. Kamu ketiduran, kepalanya ngetuk-ngetuk kaca jendela terus," akunya dalam kekehan. Kok jadi nggak romantis begini ya?
"Katanya makan aja? Di mall?" Dahiku mengernyit, mendapati sedang dimana kami berada.
"Sekalian belanja bulanan. Nanti Mas tinggal ke Garut, biar kalau pulang rumah, kamu nggak kebingungan nggak ada apa-apa. Kost juga udah ditinggal lama, siapa tahu ada kebutuhan yang mau kamu beli nggak?"
Bibirku ber-oh ria. Benar juga. Hasil mengobrol kami semalam, aku akan tinggal di kosan dulu sementara Mas Iyo ke Garut. Tiga hari setelah Mas Iyo capcus, aku juga akan berangkat stase Obgyn luar selama dua minggu di RSUD Jakut. Niat awal kami, sebelum kejadian Sasi dan Kak Arter mengetahui perihal kebohonganku.
"Vein kayaknya mau di rumah aja," putusku dalam langkah kami menuju lantai atas. Mas Iyo menggenggam tanganku dengan hanya membawa satu waistbag yang kutitipi dompet dan handphone. Aku tidak menggendong apapun. Ransel yang kami tinggal di mobil hanya berisi buku, buku, dan buku. Ngomong-ngomong, soal genggaman tangan ini. Aku sebenarnya menolak untuk melanjutkan skinship lebih lanjut lantaran marah. Dua kali kulepas kaitan tangan kami, Mas Iyo lagi-lagi melakukannya. Bagaimana amarah ini tidak lumer jika dia bersikeras tetap berbaikan meskipun tengah terjadi keonaran dalam kehidupan rumahtangga pertama kami?
Mas Iyo terdiam masih sembari menekan tombol lift. Alih-alih bilang, "Kenapa nggak di kost aja? Di rumah nggak ada orang." Dia justru menawarkan teman baru padaku. "Jadi Mas suruh Bulek Mimah nginap aja ya nanti?"
Aku mengiyakan saja. Tidak bisa membayangkan akan seperti suasana kost. Pasti ujung-ujungnya, akan terkurung di kamar berhari-hari demi menghindari kecanggungan bertemu Sasi. Mungkin, Alana juga akan lebih memihak Sasi sementara. Dia yang lebih butuh ditemani daripada aku.
"Berangkat-pulang naik Grabcar aja. Mobilnya Mas bawa."
"Pakai motor aja. Lama-lama mogok kalau nggak pernah dipakai."
"Kamu bisa lancar ngendarain motor? Mobil aja yang roda empat kayak baru kemarin sore belajar."
"Dihhh ... Lebih gampang. Udah biasa."
Mas Iyo tersenyum, sembari lagi-lagi mengacak kerudungku lembut. "Yaudah. Fleksibel aja. Motor, kereta, taksi yang penting jaga diri. Kalo kemaleman atau terlanjur capek, tidur di kosan juga nggak papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...