Akhirnya, aku boleh keluar rumah sakit. Pulang untuk pertama kali ke rumah Mas Iyo di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kediaman yang akan kubilang pada teman-teman sebagai ... rumah sepupu.
Aku belum siap mengumumkan pernikahan ini. Apalagi baru sebatas akad secara agama. Ditambah, Mas Iyo ini residen ganteng yang paling disingkirkan dari list calon suami terfavorit. Menurut teman-temanku yang telah melewati stase Obgyn. Kalau kata Sasi, tidak suamiable. Kecuali, aku mau hidup bersama pria rewel macam dia.
Pencarian jodoh koas menarget residen atau teman sejawat, bukan hal tabu lagi di Samanhudi. Usia kami cukup matang untuk menikah. Teman-teman kuliah beda fakultas sepantaran, sedang musim-musimnya menyebar undangan. Apalagi, setelah Sumpah Dokter, kami akan dipencar lagi oleh program Internship. Kalau belum ada gandengan, rasanya kurang afdol. Dimana lagi menemukan calon suami dokter kalau tidak gencar mencari di sarangnya?
Kami ini perempuan waras. Maunya juga sama pria tampan baik-baik, romantis, sopan, serta berakhlak mulia. Sedangkan Dokter Heart, di mata koas se-Samanhudi, dia baru masuk kategori pertama saja. Sisanya, jangan harap lebih.
Aku bagai perempuan munafik ya sekarang? Ngomong panjang lebar, tapi kenyataannya, yang sekarang duduk di sampingnya di dalam mobil siapa? Berstatus istri, sekaligus kami sedang menuju rumah. Iuhhh ...!!
Pasukan hore kembali ke Magelang, malam hari setelah akad dilangsungkan. Menjadikan malam pertamaku tambah awkward, berdua saja bersama Mas Iyo di kamar rawat.
Dia nggak ngapa-ngapain sih. Sudah kubilang, orang ini tepat janji. Sekembalinya dari mengantar ke bandara pukul 9 malam, dia seperti sibuk entah melakukan apa. Aku hanya mendengar berisik-berisik kecilnya saja karena memang pura-pura bobok. Masuk kamar mandi sebentar, meredupkan lampu tidur, terakhir kudengar lesakan sofa di seberang ranjang. Tak berapa lama, suara orang mendengkur halus terdengar.
Biasanya, kalau suami bucin akan mencium kening istrinya dulu yang terlelap. Atau menggeser posisi pasangan ke sisi ranjang lalu diam-diam bobok memeluknya. Ini sih enggak! Jadi, dapat kupastikan, dia 1-1 sama dengan diriku. Belum cinta, atau tidak mau jatuh cinta ya? Katanya kemarin, "semoga jadi sayang". Kok ini dia tidak ada usaha?
Ishh! Kok mendadak aku yang jadi perempuan jablay begini? Gara-gara drakor Sister Sasi!
Sebenarnya, aku tidak mau cinta bertepuk sebelah tangan. Kalau aku cinta, dia juga harus cinta. Kalau dia hanya mau berteman, oke, akan kuterima tantangannya! Emang dia doang yang bisa bikin cewek satu rumah sakit klepek-klepek di mata tapi dilepeh di jiwa?!
"Mampir ambil laundry dulu ya, Mas."
"Dimana?" tanyanya menoleh padaku. Kuluruskan pandangan ke depan begitu mata kami bersinggungan. Aku masih canggung. Baru banyak bicara mulai pagi ini. Kemarin-kemarin aku kemana saja, kenapa tidak mengakrabkan diri lebih dulu?
Aku lebih baik melihatnya sebagai cowok lempeng atau ketus saja, seperti sejak dari keluar parkiran tadi dan sebelum-sebelumnya. Tidak ada suara. Lebih aman untuk debar jantungku. Misiku harus berhasil.
"Depan kampus. Masih sederetan hotel. Yang di ruko-ruko itu. Catnya warna biru di pojokan, pernah lihat?"
Mas Iyo langsung memutar kemudi ke kanan, berbelok melewati jalan Samanhudi.
"Laundry Cling ya?"
Aku langsung bertepuk tangan bahagia begitu dia tahu laundry yang kumaksud. Setidaknya, ada hal yang sama diantara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...