Aku membuka mata di terangnya plafon yang dihias lampu LED warna kuning yang tersembunyi di ornamen minimalis sebuah ruangan. Pusing masih mendera. Begitu pandanganku pulih total, aku baru sadar bahwa ada rasa dingin gel yang sedang bergerak di atas perutku oleh sebuah alat. Alat itu, probe USG. Sontak, aku menoleh ke sebelah. Kutemukan Heart sedang duduk di sebelah, memindai apa yang ada dalam perutku dengan tangan gemetaran. Ekspresinya sulit diartikan. Tersenyum haru dengan air mata menggenang. Sasi dan Alana juga fokus ke layar yang sama dalam keheningan, sampai mereka tidak tahu jika aku telah membuka mata.
Aku penasaran. Kuangkat sedikit siku untuk turut melihat apa yang mereka fokuskan. Di sana, di layar USG, tampak penebalan dinding rahim dengan segaris bulatan amat kecil warna putih yang sangat aku tahu apa itu. Batinku sontak berontak. Kusentak tangan Heart yang sedang memegang probe. Hingga alat berikut kabel penghubungnya, terjatuh.
"Jangan pegang!!"
Dia terpengarah. Mengambil probe di lantai, membenarkan duduk, meraih tanganku sambil bilang, "Anak kita ..."
Hampir saja Heart memeluk, namun kutepis. Biarkan saja mukanya memelas sedih-sedih. Aku masih ingat betul kalimat menyakitkan terakhirnya sebelum pingsan.
"Enggak!!"
Aku menepi ke sisi yang berlawanan. Alana mendekat. Memelukku dari sisi itu. "Tenang ya, Pin? Semua pasti ada jalan."
Kugeleng-gelengkan kepala. Detik sebelum pingsan, satu hal yang kupikirkan hanya tentang perpisahan dari Heart. Aku tidak percaya lagi mulut bualannya. Takkan hidup tenang jika kami bersama hingga ujung usia. Juga rasa curiga dan khawatir yang akan terus menggelayut di pundak.
Lalu, sekarang? Apa yang harus kulakukan? Aku-
"Lo positif, Sis. Gue mau jadi aunty." Disusul Sasi yang merangkum kami berdua. "Tadinya mau transvaginal. Gue nggak bolehin. Lo-nya belum sadar, tapi gue kepo. Tenang, Sis! Biarin aja kalo bapaknya brengsek, gue sama Alana sanggup bantuin lo ngerawat anak ini. Jangan takut!"
Kesadisan Sasi mewakili. Membantu menenangkanku yang sedang menangis tanpa suara, dalam tubuh bergetar hebat. Aku ini 11-12 mirip Sasi ketika marah. Bedanya, aku masih punya belas kasihan pada lawan. Sedangkan Sasi, akan membunuh habis-habisan musuhnya melalui kata-kata.
Heart keluar setelah mengeprint dua lembar hasil USG. Satu dia masukkan kantong, satu lagi dia letakkan di atas nakas kamar rawat. Kukira akan pergi. Ternyata, hanya memanggil seorang perawat untuk mengambil meja dorong berisi perlengkapan USG itu.
Heart menempati duduk di ujung ranjang. Menghela nafas panjang saat mata kami bertubrukan lantas aku berpaling.
"Bisa tinggalkan kami berdua sebentar?"
"Enggak!" jawab Sasi. "Nanti Pipin pingsan lagi! Dokter mau Pipin sama anaknya kenapa-napa?"
"Janin itu anak saya juga, Sasi. Saya nggak mungkin membahayakan dua nyawa yang paling saya sayang."
Tangisku makin menjadi saat dia bilang sayang. Apa Heart tidak tahu, bagaimana aku menunggu-nunggu kata itu keluar dalam konteks serius dan bukan dalam keadaan seperti ini? Dimana dia telah dicap penipu oleh otakku. Heart jahat banget.
Alana menepuk kedua bahuku. "Baik-baik ya, Pin? Gue sama Sasi makan dulu. Lo mau nitip atau makan menu rumah sakit?"
Aku menggeleng. Tidak nafsu makan sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...