20. Bubur Nasi Telur Rebus

29.9K 4.2K 238
                                    

Tentang aku yang menawarkan akan menyetiri dia pulang, sebenarnya hanya sok gaya-gayaanku saja. Aku punya SIM sih, tapi hanya sebagai lulusan jalanan kampung kecamatan Muntilan, Magelang. Rute tenang, di kanan-kiri sawah. Jika berhenti ketika berpapasan dengan mobil lain, maka pengendara belakang tidak akan mengumpat atau mengklakson membabi-buta. Bukan jalur Depok-Jagakarsa, dimana kendaraannya gemar pepet-pepetan. Pengendara motor bak MotoGP riders, mahir sekali menukik lalu mak bedunduk sudah di depan bumper-ku. Meleng sedikit, lecet kesenggol. Mepet sedikit, mengerem mendadak, bumper penyok. Cara menyetirku yang berhati-hati demi menyelamatkan body mobil, nyatanya memperparah gejolak perut di body-nya Mas Iyo. Dia muntah 2 kali selama perjalanan. Ngomel-ngomel tapi pakai gaya orang lemas pasrah. Bikin aku tidak takut sama sekali. Malah lebih ke kasihan.

Sampai rumah, kaki-kaki panjangnya langsung melesat. Kamar mandi ruang tengah jadi pelampiasan muntahannya.

Kususul dia setelah meletakkan barang-barang kami di meja makan. Kupijat tengkuknya. Dia tampak tersiksa, masih ingin muntah tapi tak ada lagi yang bisa dikeluarkan.

"Maaf, ya? Ntar aku belajar lagi."

"Nggak perlu. Ini pertama dan terakhir kalinya kamu nyetirin."

Kalimat Mas Iyo penuh dominasi. Bibirku memberengut. Iyakan saja lah. Daripada dia makin pusing jika berdebat denganku. Sejak tadi, Mas Iyo mengeluh pusing, pusing dan pusing. Aku sampai ketakutan dia pingsan ketika berjalan ke parkiran basement belakang dekat Forensik. Tidak ada yang curiga pada kami. Sebagian teman sudah bubar jalan. Hanya sisa beberapa, masih bisa kukecoh dengan menjaga jarak di belakang Mas Iyo. Baru masuk mobil setelah lalu-lalang di basement aman.

"Mas tidur dulu," pamitnya langsung menuju kamar. Aku ditinggalkan sendirian di kamar mandi.

"Minum obat dulu!" teriakku padanya.

Kukejar hingga ke kamar sekalian membawa obat yang tadi kuringkas di nakas ruang residen.

"Mau makan apa nanti abis bangun?"

"Terserah," balasnya sebelum menutup rapat pintu kamar mandi dalam untuk mengganti seluruh baju kotor yang melekat padanya. Lah, terserah lagi.

-------

Cahaya kamar mulai redup oleh matahari yang tak lagi mampu menyorot ke arah jendela kami. Kunyalakan diffuser sekalian lampu, setelah menutup semua gorden. Angin bertiup kencang. Hujan akan turun.

Mas Iyo sudah tertidur, tertutup selimut putih tebalnya, sejak aku keluar dari kamar mandi. Infus masih mengalir dalam kecepatan pelan. Aku takjub. Ternyata Mas Iyo punya tiang besi infus di rumah. Apakah karena keseringan menjadi pasien diri sendiri atau hanya untuk iseng aja? I don't know.

Aku duduk bersimpuh di atas kasur, lantaran kebingungan mau memasak apa untuk nanti malam. Yang pasti, aku telah menyiapkan bubur nasi ketika tadi Mas Iyo mandi. Kutatap pejaman sepasang matanya, dengan hembus nafas yang terdengar lirih. Dia terlelap pulas.

Usaha pertamaku adalah konsultasi pada Dokter Acha. Aku bilang sepupuku sakit. Katanya, memang Mas Iyo harus istirahat, mengganti cairan, minum obat, dan makan menu yang mudah dicerna. Ini pengalaman pertamaku menunggui dokter sakit seorang diri. Manusia paling sok tahu tentang penyakitnya sendiri, sampai-sampai aku kebingungan bantuan macam apa yang bisa kuberikan untuk meringankan penderitaannya.

Tanganku mencoba mendial nomor Ibu. Ibu Dina. Mertuaku. Mungkin, beliau yang paling paham tentang anaknya.

"Iyo itu kalau sakit, maunya bubur kacang ijo, Nak. Banyakin gula merah sama pandan aja. Iyo suka aromanya." Aku mengangguk-angguk meskipun ibu mertua takkan melihat ekspresi bodohku. Sedang memikirkan harus meninggalkan Mas Iyo belanja bahan bubur kacang hijau, atau minta tolong Bulek Mimah untuk kembali ke sini malam ini. Di luar juga gerimis mulai turun. "Mikirin apa sih Mas Iyo-nya, Nak?"

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang