42. Taman di Tepi Jalan

18.9K 2.4K 128
                                    

Aku mendarat di Yogyakarta International Airport sekitar pukul 4 sore. Sopir Bapak Jaelani yang akan menjemput kami di sini. Mas Iyo mengantarku pulang ke rumah Magelang, baru setelahnya, dia kembali ke Temanggung. Itu ... jalan pikiranku saja. Mauku begitu. Entah bagaimana rencana dia sebenarnya. Karena sampai sekarang aku masih mode ngambek irit-irit ngomong, dia pun tenang tidak mengusik. Bertanya 'tumben banget Vein nggak bicara,' pun enggak. 

Aku dan Mas Iyo hanya membawa 2 koper. 1 koper kabin yang sekarang kududuki, dan satu lagi seukuran 24 inchi milik dia, sedang kami tunggu kemunculannya di conveyor bagasi. Berisi baju kami berdua.

"Mau makan dulu atau langsung pulang?"

"Makan," jawabku menatap nyalang conveyor yang terus berputar. Aku lapar. 

"Di sini atau di luar. Vein mau makan apa?"

"Di sini. Enggak mau gudeg. Maunya padang. Air dingin biar kepalaku dingin."

Mas Iyo tersenyum. Mau mengacak kerudungku, tapi keburu aku menghindar duluan.

"Oke. Nanti ke padang. Kamu makan, Mas tinggal ke mushola. Mas lauknya gulai ikan sama minum jeruk hangat ya? Kamu yang pesan. Ini ..." Dia menyodorkan dompet tebalnya di depanku. Aku mendongak. "... Vein yang bawa."

"Aku masih ada uang."

Mas Iyo mendengus berat. Sabar-sabar saja menghadapiku. Lagian, nekat sih. Aku, kan, maunya healing sendirian. Pulang ke Magelang sendiri.

"Ini untuk bayar orderan Mas."

Tanganku tengadah. "Yaudah, sini! 100 ribu aja kalik. Nggak usah sedompet-dompetnya juga."

-----------

"Sini. Kenapa jauh-jauh?"

Mas Iyo berhenti. Berbalik dengan tangan terulur ke arahku selagi kami berjalan ke pintu keluar. Aku menggeleng.

Dia menghembuskan nafas panjang, lalu berjalan mendekat ke sini. Mengambil tangan yang kusembunyikan di belakang badan. Seharusnya dia peka kalau aku sedang ingin menjaga jarak. Tapi justru, dia masa bodoh. Bisa dibilang, tidak mau tahu apa yang kulakukan.

"Jangan ..." cicitku.

Tangannya meremas kuat. Jemari kami saling tertaut. Sedangkan tangan kami yang lain membawa koper masing-masing.

"Jangan bikin sedih orang tua, dengan lihat kita yang kayak orang musuhan begini," bisiknya. 

Aku melengos. Kudukku merinding sendiri. Sulit berada dalam situasi seperti ini. Maunya menghindar tapi yang dihindari tidak terima. Maunya nempel-nempel terus. 

"Bapak Ibu, kan, nggak ada di sini."

"Pak Singgih bisa aja lapor. Ada sekretaris Mas juga. Nana. Nanti Mas kenalin."

Aku ber-oh-ria. Sok sibuk. Pakai sekretaris, buat apa coba? Oh, okay ... mungkin, rumah sakit yang konon diwariskan padaku itu dia yang mengaturnya sebagai CEO tamvan kaya raya digandrungi para perawat.

"Nana, cowok apa cewek tuh?"

"Cowok. Nggak usah cemburu."

Dih! Dia nuduh.

"Siapa yang cemburu? Cewek juga nggak papa. Aku malah ada temen ngobrol. Selama ini punya suami kayak patung. Diem aja. Apa-apa disimpen sendiri. Bokis banget. Sok baik padahal—"

"Cukup, Vein...!" Mas Iyo berhenti. Rahang dia mengeras menoleh padaku. Remasan di tangan makin kencang.

"Sakit!" Kupukul bahunya pakai tangan satu lagi. Dia benar-benar mengunci tautan kami. Pukulanku tidak berefek.

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang