"Selamaatttt!!"
Aku berusaha menarik sudut bibir selebar mungkin meski hatiku ketar-ketir. Antara sakit tidak ingin percaya apa yang barusan kubaca, atau percaya saja kalau Mas Iyo juga akan bereaksi sama kagetnya sepertiku ketika nanti membaca pesan Adisty karena dia sama tidak menyangkanya.
Kuserahkan buket bunga yang baru selesai kuperbaiki. Ada beberapa tangkainya patah.
"Maafin. Tadi nggak sengaja jatuh. Padahal udah cantik-cantik."
Mas Iyo tersenyum lebar. Menerima bunga krisanku, mengangsurkan pada Maya yang langsung berbunga-bunga. "Makasih ya, Vein. Gimana? Oke, kan, acting gue?"
Dua jempol kutunjukkan untuk Maya.
"Oke banget!! Bisa nih, jadi dokter sama aktris sekaligus!!"
Dia memelukku di depan Mas Iyo. Juga melompat-lompat saking girangnya. Badanku ikutan naik-turun mengikuti lompatannya.
"Happy banget gue!! Mudah-mudahan menang!! Yess!!" Maya mengurai pelukan. "Dok, kita harus menang!! Wajib!!"
Maya mengangkat tangan ke udara. Mengajak toss Mas Iyo.
"Yap!! Obgyn paling keren! Wajib menang!!" Aku yang justru membalas tossnya. Aneh, kan? Mas Iyo senyam-senyum sendiri melihatku aneh sama reflekku sendiri.
Harus kuakui, sejak hamil— emm, mungkin sejak ketahuan Mas Iyo pernah menjadi milik wanita lain, aku jadi seperti tidak rela dia didekati siapapun. Koas, residen perempuan lain, sampai parahnya pasiennya yang 100% adalah wanita usia produktif.
Ini berat! Ini ujian sepanjang hayat! Sudah kubilang berkali-kali dari awal. Jadi istri dokter Obgyn adalah perkara nomor 1 yang paling kuhindari. Mau Naina bilang titipkan pada Allah, rasanya aku masih setengah ikhlas melepasnya kemana-mana.
Maya berlalu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Mas Iyo langsung merangkulku untuk diajak ke belakang panggung. Orang-orang menghapus makeup dan berganti kostum di ruang ganti hall yang disediakan panitia. Berbeda dengan Mas Iyo, dia hanya mengambil jaket dan topi, lalu mengajakku kembali ke ruang chief Obgyn.
Koridor mulai sepi. Jam tanganku menunjuk pukul 10 malam. Pasien dan penunggunya tengah terlelap.
Kami berjalan pelan, menikmati semilir angin malam dari taman-taman di kanan-kiri koridor.
Alih-alih meminta pendapat tentang bagaimana penampilannya tadi sebagai Buto Ijo, Mas Iyo malah bertanya, "Kamu udah ngantuk?"
Kugelengkan kepala dalam rangkulannya.
"Tapi udah malem. Kayaknya Vein nggak bisa ikut acara sampai pengumuman pemenang. Selesai hapus-hapusin makeup Mas, mau pulang aja. Sama Alana janjian setengah jam lagi."
"Mana handphone kamu?"
Aku bengong ketika dia menengadahkan tangan meminta sesuatu. Kuturuti saja. Mas Iyo sempat mengomel ponselku tidak pakai password apa-apa. Ya, kali. Handphone-ku nggak banyak rahasia seperti punyanya.
Vein:
Alana, Sasi, hari ini kami pulang Jagakarsa. Kalian duluan saja.Eh? Aku tidak curiga apa-apa. Sampai kubaca sendiri pesan yang dia kirimkan ke Sasi dan Alana. Mana formal banget. Mana ada aku manggil Sasi-Alana pakai nama panjang begini? Baru akan protes, Mas Iyo memotong. "Mas nggak bisa tidur seminggu belakangan. Pulang rumah, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) END
RomanceMimpi apa aku semalam? Dokter Heart datang ke rumah bersama kedua orang tua, berniat melamar. Parahnya, Ibu dan Bapak menerima pinangan. Aku yakin mereka sedang berinvestasi bodong. Manusia sepertiku, harusnya sulit mendapat jodoh. Seorang budak ber...