4. Margonda Raya

31.1K 4K 210
                                    

"Pulang koas, bisa kita ngobrol sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan. Saya pikir, kamu udah tahu, apa yang akan kita bahas nanti," pintanya di bilik pasien Adisty. Memerangkapku sebentar, sebelum mundur memberi jalan untuk kabur karena celah yang hanya muat seorang penunggu itu.

Rem cakramku sampai berdecit di paving halaman kafe. Asal memarkirkan kendaraan di sebelah sebuah CRV prestige putih, satu-satunya mobil pengunjung. Aku menyampirkan helm di spion motor Honda Beat yang kuparkir. Harta pinjaman Bapak Jaelani terhormat, selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Indonesia ini. Setelah lulus, aku diharapkan bisa bekerja dan punya aset dari usaha sendiri.

Kafe di jalan Margonda Raya ini lumayan sepi di jam 4 sore. Aku menjatuhkan pandangan pada dinding kaca restoran dari kejauhan. Terlihat seorang pria bertopi hitam dengan kacamata berbingkai putih, sibuk di depan laptop. Mengenakan celana jeans dan kaos putih polos lengan panjang. Ia duduk di meja dekat dinding kaca itu.

Tidak perlu lagi bertanya-tanya lelaki ini siapa.

Tidak perlu juga meledek kalau aku sedang kencan.

Ini pertemuan pertama kami. Dalam artian 'secara formal dan sebenar-benarnya.' Di sebuah tempat nongkrong kekinian anak muda. Kafe berdinding full kaca, ada meja outdoor dan indoor-nya, juga rumput hijau menjadi pemandangan kami. Lampu-lampu pijar menggantung menyala cantik. Ah, suasana ini tidak pantas untuk tema acara sore ini. Cocoknya sebagai tempat pacaran pasangan halal. Duduk berhadapan, lalu pegangan tangan. Makan suap-suapan. Minum segelas bersama. Mengobrol hal-hal ringan menyenangkan.

"Terlambat 30 menit," potongnya membuyarkan bayangan. Dia bicara tanpa melihat wajah cantik ini. Smartwatch di lengan, Dokter Heart sodorkan ke depan mataku. "Saya nggak suka orang lelet."

Aku berdecih dalam hati. Kenyataannya, kepalaku tetap menunduk minta maaf. Hasrat ini meluap-luap ingin mencincang si Jantung. Aku datang saja, harusnya ia bersyukur. Apa matanya tidak lihat, kalau aku masih pakai scrub abu di balik hoodie coksuku ini? Fix, keganasan Dokter Heart bukan sekadar kabar burung.

"Tadi pasien terakhir agak nggak bagus. Saya baru keluar RS jam 3.30, langsung ke sini."

Alasan klasik koas. Dia pasti hafal di luar kepala. Terbukti dari tingkahnya. Dokter Heart langsung membuang muka. Pasien kami tadi memang gawat. Faktanya, dia adalah pasien temanku. Sekadar sebagai dalih, agar tidak perlu memenuhi undangan makan siang kesorean ini. Berharap, sekalian jaga malam. Tapi tidak ada yang mau kugantikan. Renung-merenung, sembari mencatat tanda vital pasien setiap 5 menit sekali, kuputuskan untuk bangkit. Sekarang atau nanti, pertemuan ini harus kulalui.

"Pesan makanan dulu," perintahnya.

Aku memesan chicken teriyaki rice dan red velvet. Dokter Heart menjatuhkan pilihan pada spaghetti aglio olio dan sebotol air mineral. Di samping laptopnya, secangkir latte telah tandas separuh.

Tubuhku berulah. Janjian ini lebih pantas disebut konsultasi kasus dibandingkan kencan calon tunangan. Dia sibuk dengan pekerjaannya di layar, sedangkan aku harap-harap cemas menunggu apa yang akan Dokter Heart ucapkan. Mau membuka handphone pun, tidak berani. Takut kalau lambe cabe itu menyembur kata-kata pedas lagi. Hatiku rapuh. Tidak akan tahan.

Lama kami berada dalam keheningan. Dia mengerjakan apa sih? Aku kepo. Rasanya ingin menutup layar. Sikap Dokter Heart seperti ini bukannya tidak sopan ya? Menganggurkan tamu.

Beruntung, setelah menjadi batu penunggu candi, makananku datang. Masa bodoh, aku lapar. Kulahap habis tanpa suara. Aku menambah order pisang goreng untuk dessert.

"Dokter sebenarnya mau bicara apa sih?" Inisiatifku sebelum hidangan penutup habis. Piring-piring lain sudah bersih.

Mata bulat itu menangkap sepasang mataku. Keberanian barusan jadi mengerut lagi. Dokter Heart menutup laptop. Juga meletakkan sendok spaghettinya yang belum juga habis. Apa ia menungguku kenyang lebih dulu, baru bicara?

"Soal perjodohan kita. Kata Ibu saya, Ibu kamu udah ngasih tahu. Saya cuma pengin denger apa pendapat kamu."

Aku mengangguk. "Tapi ... apa Dokter setuju acara jodoh-jodohan begini? Saya udah punya calon," ungkapku.

Dokter Heart menyilangkan lengan setelah melepas kacamata yang sejak tadi bertengger di hidung Petruknya. Kutebak, lelaki ini masih ada keturunan Arab-arabnya. Dia menyandarkan punggung ke kursi rotan dengan nyaman.

"Saya udah didoktrin untuk nikah sama salah satu anak keluarga Dokter Jaelani. Gimana dong?"

Mati beneran! Sampai hampir tersedak. Pisang goreng yang baru saja digigit, kutelan bulat-bulat. Kuurut kuat kedua pelipis. Perut kenyang malah membuat pusing. Sama sekali tidak membantu memecahkan masalah.

"Kenapa Dokter enggak usaha aja bikin perjodohan ini gagal? Gimana kalau saya ini jelek, bukan dokter, cacat, nggak sesuai kriteria calon istri sempurna bagi Dokter?"

Pria itu hanya menaikkan kedua alis cueknya, masih dalam sikap dominan.

"Bapak berhutang budi sama keluarga kamu. Kalau saya gagal nikah sama kamu, ya ... mungkin saya akan dijodohkan sama Cava. Adik kamu."

Spontan, kugebrak meja. Ridiculous!

"Cava masih kecil."

"Saya tahu. Tapi Bapak nggak akan menyerah. Lagipula, saya juga selektif cari calon istri. Kalau lihat kamu anak manja, nggak berbudi, ibadah serampangan, saya juga nggak bakal mau. Mungkin saya akan menjatuhkan pilihan ke Cava."

"Cava masih SMA kelas 3, Dokter!" sangkalku. Kok aku merasa kami ini dijadikan tumbal ya? Apa Cava juga tahu rencana Bapak Ibu? Apa juga untungnya dinikahi anak sahabat Bapak ini?

"Beruntunglah kamu perempuan mandiri. Saya lihat kamu rajin ibadah. Baik sama pasien. Jadi saya bisa pilih kamu. Ya ... sedikit yang saya nggak suka. Sering terlambat sama sorry ... agak rakus."

Nyebelin memang si Jantung ini!

"Iya emang! Yang penting nggak rugiin orang, kan?!" Aku menertawakan hinaannya. Jadi, selama ini orang-orang memandangku seperti itu?

"Yap. Makanya saya masih bisa maklum," senyumnya seringan hidup tanpa beban. Dia masih bisa senyum setelah meledekku? Tercipta dari apa hatinya?

"Dokter ini pasrah banget."

"I'm not so sure, Vein. But, I decided. Maybe we should try?"

Tentu saja, aku menggeleng mantap.

"Saya sedang ada rencana mau bawa calon lain ke Bapak. Biar batal. Apa Dokter nggak kebe—"

"Whoaa!" Senyum di bibirnya kian merekah. Dia bertepuk tangan. Aneh, kan? Lelaki ini tambah girang, begitu tahu aku akan mengeliminasinya di depan Bapak. "Good idea! Alhamdulillah. Saya nggak keberatan. Silakan. Selama janur kuning kita belum melengkung, you're free mau bawa siapapun untuk dikenalkan ke Dokter Jaelani. Makasih lho ya. Kamu mudahin urusan saya. Jadi saya nggak perlu repot-repot."

Tawa lebar itu mengacaukan otakku. Antara senang karena Dokter Heart mendukung pembatalan ini, juga sedih karena semudah itu ia tidak tertarik padaku.

Kata pepatah, don't judge book by its cover.

Dari awal, aku sudah nggak terlalu suka cover Dokter Heart. Belum embel-embel akan menjadi dokter apa ia kelak. Lalu, temuan tentang pasien yang mengarahkan curiga ke kekasih simpanannya. Sekarang, setelah kubuka bab pertama—tentunya, at this our first clueless conversation— aku masih pada penilaian awal. Dia tidak masuk kualifikasi sebagai suami masa depanku.

-----

Ditunggu komennya. Alurnya agak lambat ya teman. Jangan bosen, oke oke?

Bantuin share cerita ini puliiissss. Biar makin rame kita berkubu.

Kubu siapa kamu?

Koko Arteria?

Mas Iyo?

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang