35. Ruang Chief Residen

23.2K 3K 128
                                    

Menurutku, bangsal yang akan selalu ramai pada dini hari selain IGD, adalah VK.

Verlos Kamer.

Orang melahirkan kebanyakan malam-malam. Kalau yang lain, masih sanggup menunggu pagi menahan sakit, tidak pada ibu hamil. Semua cemas. Keluarga pasti segera mengantarnya datang di pukul berapapun mulas terasa. Bikin kami mesti pintar-pintar mengatur waktu dan tugas.

Beruntung, sejak menyodorkan banyak syarat pada Mas Iyo, dia nggak lagi nampak di VK bangsal sesering dulu. Jantung koas dan residen terselamatkan. Pun berpasang mata lelah kami. Setidaknya dapat waktu untuk memejam. Mas Iyo baru muncul jika juniornya mengabari bukaan rahim pasien telah mencapai 7-8 cm. Atau, ketika dapat konsultasi persalinan resiko tinggi. Prediksi yang kadang terdeteksi sedari awal. Dapat pula, baru ketahuan di tengah jalannya proses.

"Ayo, Bu, ngejan lagi!! Kalo kerasa mulas, langsung tarik nafas, ngejan!!"

Gina mempraktekkan gaya menarik nafas maksimal pakai hidung. Wajahnya turut mengerut. Memerah gara-gara ikutan mengejan. Perutku kram melihatnya. Ibu yang baru melahirkan pertama kali ini, harus dituntun.

"Lagi, Bu! Ayo, lagi! Udah turun ini kepalanya!" Dua koas lain menyemangati. Dua bidan menyiapkan diri menerima bayi. 

Aku dan Dokter Yudi melihat posisi belakang kepala yang terus turun. Kurenggangkan lagi kaki pasien. Memudahkan bayi mencari jalan. Hampir satu jam berjalan, aku panas dingin memikirkan sang ibu yang kelelahan. Dokter Yudi juga mulai tampak tegang. 

Jaga malam kali ini berbeda. Jaga pertamaku setelah cuti. Untungnya, sebelum masalah mendera, aku keseringan bertukar jadwal di awal stase. Hingga tersisa 4 kali jaga saja.

Orang-orang mulai mengenalku sebagai istri Dokter Arsenio Heart, yang secara tersirat mendapat privilege sebagai koas hamil. Mas Iyo benar membantuku mengantar darah ke PK. Juga mendorongkan brankar pasien ke OK IBS atau dari IGD ke bangsal ketika kami mengampu pasien sama atau tidak sengaja bertemu. Selainnya, teman koas dan satpam seolah paham apa yang harus dilakukan. Agar bumil ini tak perlu mengerjakan hal-hal berat. Termasuk menunggui pasien melahirkan, aku diberi bangku duduk, yang biasanya hanya boleh diberikan pada residen R3 saja. 

Lantas, sekarang, ketika mendapat giliran melahirkan plasenta, menunggu kepala bayi keluar saja, sekujur tubuhku meremang. Turut merasakan bagaimana meregangnya otot tulang panggul demi memberi jalan bayi ... yang akan kualami 9 bulan ke depan.

"Vein, lo pucat?"

Aku terkesiap saat Arty menyenggol bahuku. "Eh? Masa?"

"Kepikiran ya?" 

Aku menggeleng. "Nggak tega aja," bisikku.

Benar saja, si ibu hampir pingsan. Dokter Yudi segera mengintruksikan untuk ekstraksi vacuum. Bidan menyiapkan alat. Dokter Yudi melakukan episiotomi. Mengunting miring pintu keluar, memperlebar jalan. Lanjut menyedot kepala bayi pakai alat agar keluar. Gina dan seorang residen mengganti infus, mempercepat alirannya, menyuntikkan obat. Ternyata, ada lilitan tali pusat pada leher.

Melihat bayi itu tak langsung menangis, tangan ini bergetar. Hampir aku meneteskan air mata.

Fokusku terbelah.

Antara menunggu tangisan keras bayi yang sedang diresusitasi itu muncul, juga menarik plasenta perlahan agar keluar. Darah mengucur bak air terjun. Sejauh mata memandang. Merah menggenang dimana-mana. Aku pusing. Tanganku bergetar bukan main. Arty dan seorang koas junior masih menunggu. Mereka kebagian menjahit robeknya jalan lahir.

Tiba tak sanggup lagi, tarikanku mengendur. Namun, satu genggaman hangat tertutup handscoontiba-tiba menguatkan peganganku. Pun rapuhnya hati. Bersamaan suara tangis bayi yang menggema tak begitu keras. 

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang