11. Kucing dalam Karung

27.9K 4.2K 230
                                    

"Gue dapet satu bocoran, Pin. Dari Mas Putra." Aku terdiam, mengingat-ingat nama kakak Alana tersebut. Dia lulusan 6 tahun sebelum kami. "Jadi ..." Alana menarik nafas panjang. Bikin deg-degan. "... Dokter Heart tuh dulu emang pernah punya pacar. Ya, bener, si Mbak Adisty itu. Cantik kan orangnya? Kulitnya cerah. Pokoknya Mas Putra itu ngasih penggambaran lebay banget lah, kesel gue!"

Kepalaku mengiyakan. Hatiku sedikit tersayat, tapi tidak sesakit patah hati yang disebabkan oleh Kak Arter.

Ibu menitipkanku pada Alana selagi keluar untuk makan siang.

Alana mendekat bersama bangkunya. Menempel di ranjang pasien demi biar aku lebih jelas mendengar suaranya yang dilirihkan. Si manis berhijab ini datang lebih cepat dari seharusnya, setelah mendengar kabarku dioperasi. Bisa jadi karena cemas, bisa jadi juga karena ada info terbaru yang ingin dia sampaikan. Entahlah. Tapi dia bilang juga ada urusan penting.

"Anak staf konsulen Anestesi. Udah pensiun. Pacaran waktu mulai koas. Terus, nggak tahu ada apa, nah yang Mbak Adisty ini tiba-tiba ngilang gitu aja."

"Gara-gara jadi pasien Psi?" tanyaku karena waktu itu, sekelebat mendengar dia akan rawat bersama dokter jiwa.

"Nggak tahu. Nggak mau spekulasi sih. Yang ada, gue dosa dong. Yang pastii ... kekasih tersembunyinya itu beneran, Pin. Lo nggak usah—"

"Gue udah setuju mau nikah—" potongku yang langsung dipotong juga olehnya.

"You're kidding?!!" Alana memekik tajam. Telingaku sampai sakit. Belum sempat menjawab, dia tambah berteriak. Mengguncang kedua lenganku. "Astagfirullahal'adzim!!! Lo waras?!! Sama ...?!!!" tanyanya dalam nada tinggi, tak mampu menahan terkejut. "Jangan bilang sama Dokter Heart?!!"

Aku mencoba menenangkannya. "Dokter Heart bilang, udah nggak ada hubungan sama Mbak Adisty itu."

Alana tidak bisa berkata-kata lagi, padahal mulutnya terbuka. Kalimat itu tertahan di bibir. Pasti dia syok punya teman sepolos aku, yang mau dinikahkan secepat ini. Perjodohan pula. Setelah sadar, badannya luruh. Terkulai lemah di punggung kursi. Kuharap dia tidak pingsan begitu kuberi tahu kalau nikahnya besok siang.

"Be ... sok," cicitku ragu-ragu.

"Lo bikin gue serangan jantung, Pin," jawabnya lemas.

----

"Doi punya pacar simpenan."

"Dokter parlente itu tuh nggak suka sama koas. Apalagi yang nggak cantik, bersih sama rapi."

"Sayangnya cuma sama ibu-ibu hamil aja. Beuhhh, kalau tangan kita digigit, bukan bumilnya yang dimarahin, tapi kitanya yang disemprot. Dibilang nggak bisa jaga diri."

"Kalo lo liat genangan darah pasien, langsung pucet, disindir 'niat jadi dokter nggak sih?'."

"Jaga sama dia, dijamin, besoknya koas jadi zombie."

"Doi cuma respek sama koas pinter yang rajin belajar. Makanya, maju bimbingan kasus sama dia, lo kudu khatam tuh buku merah ma biru."

"Nggak bisa gue bayangin istrinya nanti begimana? Baru mau duduk bentar abis makan, pasti udah langsung disuruh cuci piring! Tobat, tobat!"

Serentetan cerita tentang dirinya dari dinding kamar koas, menari-nari di kepala. Tanganku keringat dingin. Apa yang kudengar selama ini, kenapa jauh berbeda dari yang kualami? Bagiku, dia sangat penyayang dan tenang. 

Apa benar, pria yang sedang menjabat tangan Bapak sekarang, seperti itu?

Apa ini ujung masa kebebasanku?

Diam-diam Dia Suamiku ( Heart & Vein ) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang