Dia Ada Di Sini

27K 2.9K 44
                                    

"Yang Mulia?"

Kaisar memacu kudanya ke arah kuda Sharma yang terus berlari tak tentu arah. Kaisar terus mengikuti kemanapun kuda itu berlari. Hingga pada saat kuda mereka sejajar. Kaisar berdiri dan menghentakkan kakinya untuk melompat ke kuda yang sedang ditunggangi Sharma.

Para penjaga menahan nafas saat detik-detik Kaisar loncat terjadi. Jika meleset, bisa-bisa Kaisar akan celaka.

Buk

Kaisar berhasil beralih ke kuda hitam Sharma. Dengan cepat tangan kanan Kaisar mengambil alih tali kuda, dan tangan kirinya memeluk pinggang Sharma agar gadis itu tidak terjatuh. Hanya butuh beberapa detik, kuda hitam itu sudah dalam kendali Kaisar dan mulai berjalan pelan.

Kuda yang pertama ditunggangi Kaisar kembali ke kandangnya sendiri. Sedangkan kuda yang masih dalam kendali berhenti di tempat.

Sharma masih mengatur nafas dan juga jantungnya. Ia tidak sadar bahwa tangan Kaisar masih melingkar di pinggangnya.

"Masih ingin cari keributan?"

Suara dalam itu menyadarkan Sharma. Sharma memutar kepala sedikit lalu bertemu dengan wajah dingin milik Kaisar. Susah payah Sharma menelan ludahnya sendiri. Menurutnya ini lebih mengerikan dari pada dibawa 'bersenang-senang' oleh kuda tadi.

"Nona Sharma." Penjaga kuda mengulurkan tangan pada Sharma untuk membantu calon selir ke-tiga turun.

Kaisar turun dari kuda setelah Sharma turun. Matanya menatap tajam pada Sharma.

Waduh, mati aku.

Sharma menunduk demi menghindari mata yang selalu tidak bisa santai itu. Mata Kaisar selalu  'ngajak gelut'. Mata Sharma menatap telapak kakinya yang langsung menyentuh rerumputan tanpa alas kaki. Dingin, tapi lebih dingin lagi tatapan Kaisar.

"Masuk."

Sharma berdecak kesal dalam hati. Baru saja bisa keluar, eh, malah diperintahkan masuk. Walaupun demikian ia tidak memiliki pilihan lain. Ingat kata kakaknya 'hari ini bisa selamat, tapi tidak dengan lain kali'.

Tanpa memberi salam dan hormat pada Kaisar, Sharma langsung berbalik dan pergi. Tentu saja hal itu membuat mata para penjaga hampir keluar dari tempatnya. Adakah manusia yang seberani Sharma? Walaupun Sharma adalah calon selir, tapi tetap tidak dibenarkan bersikap demikian di depan Kaisar. Bahkan Permaisuri pun selalu memberikan hormat pada Kaisar.

Dan anehnya lagi, Kaisar tidak mempermasalahkan, mungkin. Pria itu malah pergi begitu saja ke arah istananya. Para penjaga hanya bisa saling berpandangan tanpa bisa berkomentar secara langsung.

"Jangan berikan dia kuda lagi," ucap Kaisar sambil berlalu.

"Baik, Yang Mulia." Semua penjaga membungkuk hormat.

* * * *

Srek

Mata hitam bulat terbuka. Ia menoleh ke arah sumber suara. Di kamar itu gelap tanpa lentera, namun cahaya rembulan berhasil masuk lewat celah jendela. Suasananya sangat hening. Semua orang sudah tertidur, hanya dirinya yang terjaga sekarang.

Srek

Manik hitam itu dengan cepat mengikuti arah bayangan hitam yang melesat dengan cepat. Kemudian matanya berhenti bergerak setelah menangkap sosok gelap di balik jendela.

"Ada apa?" Suaranya serak. Ia sendiri sangat membenci suaranya.

"Hamba mencium bau dia di sini." Suara itu jelas-jelas suara pria, namun sosoknya hanya terlihat seperti bayangan.

Bibir pecah-pecah itu tersenyum sinis. "Bagaimana itu mungkin? Dia sudah mati saat masih kecil. Tidak mungkin ada ancaman untukku di sini."

"Tapi dia ada si sini. Hamba benar-benar yakin," ucap bayangan itu.

Tangan keriput menyisir rambut hitam panjangnya. Kemudian ia tersenyum lagi. "Pergilah. Aku hanya akan percaya jika sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."

* * * *

Sharma menggeliat di atas tempat tidur. Kakinya terbentang lebar di atas tempat tidur. Ia membuka matanya sedikit hanya untuk melihat cahaya matahari pagi yang mengintip dari celah jendela, kemudian tertutup lagi.

"Nona bangun. Hari sudah mulai siang."

Hm? Suara siapa itu? Mengganggu saja.

Sharma menarik selimut sampai ke atas kepala. Tadi malam dirinya baru saja melewati hal yang menegangkan sehingga ia baru bisa tidur menjelang pagi. Dan sekarang entah wanita mana yang berani mengganggu tidurnya.

"Nona, ini hampir siang." Pelayan itu mulai mengguncang bahu Sharma.

Terpaksa Sharma membuka matanya lalu menyingkap selimut. Ia akan menendang orang yang telah mengganggu tidur manisnya. Sharma menatap pelayan yang berdiri di samping tempat tidur dengan tajam.

"Apa maumu? Siapa kau?" tanya Sharma dengan ketus.

Pelayan itu membungkuk memberi hormat. "Hamba adalah pelayan pribadi Nona. Hamba diperintahkan Kaisar mengawasi Anda sekaligus melayani keperluan Anda."

Pelayan Pribadi? Sharma merasa pusing jika harus diawasi oleh pelayan. Seumur hidupnya belum pernah memiliki pelayan. Ia hidup miskin bersama paman dan kakak tercintanya. Jangankan memiliki pelayan, untuk makan saja ia harus menjual Teh. Sebenarnya Ader sering mengirim uang hasil gajinya bekerja sebagai mata-mata Kaisar. Namun pamannya menabungkan uang tersebut. Entah untuk apa ia pun tak tahu. Ia tidak banyak bertanya.

"Aku tidak membutuhkan pelayan," tegas Sharma sambil bangun.

Pelayan itu membungkuk. "Ini perintah dari Kaisar. Hamba tidak dapat menolak, begitu juga dengan Anda. Nama hamba Nora Denish, panggil saja Nora."

Sharma mengerucutkan bibirnya. Mau tidak mau ia harus terima. Yah, pelayan pribadi biasanya lebih setia dari pada pelayan lainnya. Jadi tidak apalah.

"Kalau begitu. Siapkan aku air mandi."

Hehehe, lumayan juga bisa memerintah. Aku merasa seperti tuan yang kejam.

Sesuai dengan yang Sharma perintahkan, pelayan itu langsung menyiapkan air untuk calon selir ke-enam mandi. Tidak hanya air, pelayan itu juga menyiapkan handuk, baju, dan perhiasan yang baru diantar oleh pengawal. Yang memberikan perhiasan itu adalah Selir-Selir sebelumnya. Ini adalah tradisi. Para Selir sebelumnya harus memberikan perhiasan pada calon Selir sebagai hadiah dan sebagai tanda mereka menyambut dengan baik.

Selesai mandi dan berpakaian, Nora merias Sharma dengan hati-hati. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dan hanya sedikit rambut yang diambil untuk digelung lalu diberikan tusukan rambut.

Sharma hanya bisa menerima perlakuan Nora, jika ia menolak, Nora akan mengancam akan memberitahu Yang Mulia tentang ketidak patuhan dirinya. Tentu saja ia harus mengikuti tradisi di Negeri Alrancus.

"Nona Sharma."

Nora dan Sharma menoleh ke sumber suara. Sepertinya ini adalah salah satu kebiasaan buruk para selir di sini, yakni tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.

Siapa lagi kira-kira?

Kaisar & Sang AmoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang