Kaisar menatap wajah terpejam Sharma yang pucat. Lagi-lagi gadis ini sakit sehari sebelum pengangkatan Selir dilaksanakan. Dan masalahnya sama. Sharma berteriak sangat keras lalu ditemukan pingsan. Kali ini Kaisar sedang luang, sebab itu dia langsung datang ketika mendengar suara teriakkan Sharma. Namun Kaisar bukan orang pertama yang sampai di kamar Sharma, melainkan Wenari dan Nora.
"Ampun Yang Mulia. Hamba tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya." Wenari dan Nora bersujud ketika menyadari Kaisar mengeluarkan aura kelam.
Sebenarnya Kaisar tidak bisa menyalahkan Wenari dan Nora. Ia yakin kedua pelayan ini juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan cara mencegahnya. Jangankan dua pelayan ini, ia sendiri masih belum tahu apa yang terjadi dengan Sharma.
Kaisar bangkit setelah memeriksa suhu tubuh Sharma yang mulai menghangat lagi. Setidaknya tubuh Sharma tidak sedingin pertama kali ia menyentuh kening gadis itu. "Jaga dia. Jangan kalian tinggalkan sedetikpun. Besok pagi aku akan kembali ke sini."
"Baik, Yang Mulia."
* * * *
Tirai jendela berkibar karena terkena tiupan angin yang cukup kencang. Tak hanya tirai itu saja, rambut hitam panjang itu pun ikut menari-nari bersama angin. Gelap, sunyi, itulah yang disukai oleh sosok yang berdiri di depan jendela sambil menikmati cahaya rembulan yang sedikit lagi bulat sempurna. Mungkin esok malam adalah bulan purnama.
Bibir pecah-pecahnya tersenyum, mata hitamnya melirik ke belakang. "Bagaimana?" Lagi-lagi suara serak yang menyebalkan keluar dari pita suaranya.
Entah bagaimana wanita itu bisa menyadari sosok hitam yang tiba-tiba muncul di kamarnya. Sosok hitam itu membungkuk. "Maafkan hamba. Sekali lagi hamba gagal menangkapnya. Dia begitu cepat menyadari sosok hamba."
Tangan keriput dan kering hingga seperti bersisik itu menutup jendela dengan sekali gerakkan. Dengan gerakan yang sangat cepat, kukunya yang sangat panjang dan tajam telah sampai dileher sosok itu. "Jika kau ingin rupamu kembali. Cepat tuntaskan tugasmu atau aku akan membunuhmu."
Sosok itu diam tak bergerak. "Baik."
Wanita itu kembali membuka jendela tanpa menyentuh jendela itu sedikitpun. "Aku tidak ingin mati secepat ini."
Ia membiarkan angin menerpa wajah keriputnya. Cahaya rembulan perlahan meredup. Bulan tertutup oleh awan hitam yang membawa angin dan juga petir. Wanita itu mengepalkan tangannya. Ia tidak memiliki banyak waktu lagi.
"Aku akan mendapatkan nya segera," bisiknya pelan.
* * * *
Sharma menggeliat di balik selimut tebal yang menyelimuti tubuhnya semalaman. Rasanya seluruh tubuhnya sakit. Tidak lupa ia menguap lebar pertanda sebenarnya ia masih mengantuk. Tapi karena ia teringat kejadian semalam, cepat-cepat ia bangun lalu memeriksa tangannya. Apakah masih ada nanah dan belatung di sana?
Uh? kenapa bersih sekali?
Tidak ada tanda-tanda bekas belatung dan nanah, juga tidak ada bau amis ataupun semacamnya.
Sharma menoleh ke arah jendela. Jendela masih tertutup rapat. Walaupun tertutup, ia masih bisa melihat cahaya yang menerobos lewat celah jendela. Sepertinya matahari sudah keluar.
"Wenari! Nora!"
Tanpa harus menggunakan pengeras suara, suara Sharma bisa terdengar sampai keluar kediaman. Tentu saja Wenari dan Nora yang sedang menyiapkan perhiasan untuk nanti malam langsung bangkit dari duduk mereka. Sesungguhnya sedari tadi mereka ada di kamar itu, namun Sharma tidak melihat mereka.
"Ada apa Nona? Apakah Nona mimpi buruk?" tanya Wenari sambil berjalan menghampiri Sharma yang masih bersila di atas ranjang.
Sharma menggeleng dan berdekham. Sungguh ia malu. Sudah berteriak keras, ternyata kedua pelayan pribadinya sedang berada di dekatnya. "Tidak. Tapi cepat siapkan air untuk mandi. Aku ingin segera mandi."
"Tapi Anda sedang sakit, Nona. Anda belum diperbolehkan mandi oleh tabib," ucap Nora yang mengkhawatirkan Sharma demam kembali.
Sharma berdecak sebal. "Aku ingin mandi. Apa kalian mau nona kalian ini tidak mandi sehingga bau ketiak?"
"Tapi-"
"Wenari! Cepat siapakan air untuk mandi. Jika tidak, aku akan membuat keributan lagi. Atau aku akan melaporkanmu pada kakak bahwa kau selalu membantah perintahku." Sharma hanya bisa mengancam Wenari karena ia tahu Wenari sangat takut pada Ader. Berbeda dengan Nora, entah apa yang ditakuti oleh gadis itu.
"Baik, Nona." Wenari segera berjalan ke kamar mandi. Kebetulan kamar di kediaman calon Selir memiliki kamar mandi sendiri, jadi Sharma tidak perlu keluar kamar untuk mandi.
"Hormat Hamba Yang Mulai Kaisar Negeri Alrancus."
Samar-samar Nora dan Sharma mendengar penghormatan para penjaga yang berjaga di pintu kamar. Kemudian terdengar suara ketukan dari luar.
"Yang Mulia akan memasuki kamar," ucap seorang penjaga.
"Silahkan masuk," jawab Sharma.
Untuk apa dia datang pagi-pagi begini?
Pintu dibuka dari luar. Sosok pria yang memiliki surai gelap melewati pintu kamar. Mata elang Kaisar langsung menjurus pada Sharma yang jelas penampilannya masih acak-acakan. Dan di belakang Kaisar ada seorang pria yang waktu itu menurunkan Sharma dari atas pohon.
"Hormat hamba Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus." Nora membungkuk hormat pada Kaisar.
Sharma diam tanpa memberikan hormat pada Kaisar. Entah mengapa kejadian tadi malam teringat lagi olehnya. Sosok Kaisar jadi-jadian itu berubah menjadi sosok yang sebenarnya setelah ia tampar dengan keras.
Melihat Sharma yang tidak kunjung memberikan hormat ataupun berbicara, Kaisar berniat untuk menegur. Kini ia berada di samping ranjang milik Sharma. Baru akan berbicara, sebuah tangan mungil telah mendarat di pipinya.
Plak!
Gak bisa bayangin gimana reaksi Kaisar begitu dapet tamparan pertama kalinya dalam seumur hidup🤣. Sharma memang suka cari mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaisar & Sang Amora
Romance(Bukan reinkarnasi ataupun time travel, tapi dijamin seru. Jangan asal ditinggal, baca dulu minimal 10 bab, kalau menurut kalian tidak seru, saya ikhlaskan kepergian kalian wahai readers. Tapi pasti seru kok!) Sharma, seorang Amora atau penyihir put...